Senin lalu, tepat di penghujung tahun 2025, INDEF mengadakan diskusi akhir tahun. Temanya cukup menggambarkan situasi: "Liburan di Tengah Tekanan Fiskal". Para ekonom di sana mencoba mengurai dinamika ekonomi Indonesia sepanjang tahun yang penuh tantangan itu.
Dunia yang Bergejolak
Eisha Maghfiruha Rachbini, Direktur Kolaborasi Internasional INDEF, membuka pembahasan dengan gambaran global. Menurutnya, ketidakpastian masih jadi bumbu utama, terutama gara-gara kebijakan tarif dari pemerintahan Donald Trump di AS.
"Ekonomi dunia sebenarnya masih cukup resilien," katanya.
"Tapi proyeksi pertumbuhannya cuma 3,2 persen di 2025. Belum balik ke level sebelum pandemi."
Kebijakan tarif balasan Trump itu rupanya sudah mengacak-acak peta perdagangan. Impor AS dari China anjlok, dari 21 persen tinggal 10,43 persen. Sebaliknya, Vietnam naik pesat. Di tengah gejolak ini, negara ASEAN seperti Indonesia justru dapat berkah tersembunyi, jadi hub alternatif.
Target Jeblok dan Fondasi yang Rapuh
Lalu, bagaimana dengan dalam negeri? Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif INDEF, langsung menyoroti sederet target yang meleset. Pertumbuhan ekonomi kuartal III cuma 5,04 persen, kalah dari target 5,2 persen. Inflasi dan nilai tukar rupiah juga melampaui asumsi.
Esther tak sungkan mengkritik. "Fundamental ekonomi kita relatif rentan karena ketergantungan terhadap dunia luar yang tinggi," ujarnya.
"Sampai garam pun kita impor."
Dia menekankan, kemandirian di sektor pangan, energi, dan ekonomi harus jadi tolok ukur utama. Tanpa itu, kita cuma terus bergantung.
Program Besar yang Dipertanyakan
Esther juga menyoroti dua program pemerintah yang anggarannya fantastis. Pertama, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menelan separuh dari anggaran pendidikan.
"Implementasinya banyak yang keracunan dan basi," katanya lugas.
"Sebaiknya dialihkan dalam bentuk transfer uang saja. Biar terukur dan bisa diaudit."
Kedua, program Koperasi Merah Putih dengan anggaran ratusan triliun untuk puluhan ribu koperasi. Menurutnya, program semasif ini berisiko karena belum ada pilot project-nya. "Perlu pengawasan ketat dan kriteria yang jelas," tegas Esther.
Suku Bunga Turun, Tapi Kredit Mandek
Dari fiskal, kita beralih ke moneter. Ekonom INDEF Eko Listiyanto mencatat, BI rate turun lima kali sepanjang 2025. Kebijakannya ekspansif, tapi dampaknya pada pertumbuhan ekonomi tak signifikan.
"Secara historis, untuk tumbuh 6 persen, butuh kredit minimal tumbuh 20 persen," jelas Eko.
"Target 8-12 persen untuk 2026 jelas tidak memadai."
Artikel Terkait
BNPT Ungkap 112 Anak Teradikalisasi, Game Online Jadi Pintu Masuk Baru
Kapolda DIY Minta Jajarannya Tak Baper dengan Komisi Reformasi Polri
Menasihati Penguasa di Depan Umum: Bolehkah atau Justru Wajib?
Tradisi Tahun Baru: Dari Konvoi Kembang Api hingga Doa Bersama Keluarga