Kadang aku harus bicara keras pada diriku sendiri: jangan bangga jadi orang benar, kalau itu membuatmu kehilangan belas kasihan. Sebab kebenaran tanpa kasih itu cuma seperti palu. Dan manusia bukan paku yang harus dipukuli.
Nilai kita di hadapan-Nya tak diukur dari seberapa sering kita bicara tentang surga. Tapi dari seberapa sedikit kita ciptakan neraka untuk orang lain. Bukan dari lantangnya suara doa, tapi dari jujurnya kita dalam bekerja. Bukan dari simbol di tubuh, tapi dari keadilan dalam setiap keputusan.
Jujur, aku muak melihat moral jadi barang tawar-menawar. Hari ini diagungkan, besok dilanggar, lusa dibenarkan lagi. Prinsip dipakai layaknya baju: dipilih yang cocok untuk acara tertentu, lalu dilepas saat mulai mengganggu kenyamanan.
Padahal, menjaga moral itu ibadah yang paling sunyi. Dan paling berat. Ia tak selalu terlihat suci, tapi selalu terasa benar. Seringkali, pilihan moral itu bikin kita kalah di mata dunia. Tapi justru di situlah kemenangan spiritualnya.
Karena itu, aku memilih untuk kalah dengan jujur. Daripada menang dengan tipu daya. Sebab kemenangan tanpa integritas cuma penundaan kehancuran belaka. Kekalahan yang bermartabat jauh lebih dekat pada Tuhan, ketimbang kesuksesan yang dibangun di atas kebohongan.
Manusia mulia bukan yang tak pernah tergoda. Tapi yang tahu batas, dan punya keberanian untuk berhenti. Yang paham bahwa kekuasaan itu ujian, bukan bukti keutamaan. Yang sadar bahwa setiap amanah akan dimintai pertanggungjawaban bukan cuma di pengadilan manusia, tapi di hadapan keadilan Ilahi yang tak bisa ditawar.
Aku akhiri renungan ini bukan dengan kesimpulan, tapi pengakuan:
Aku masih belajar untuk jujur, di saat berbohong terasa lebih aman.
Aku masih belajar untuk adil, ketika keberpihakan jelas lebih menguntungkan.
Aku masih belajar rendah hati, setiap kali pujian datang menghampiri.
Tapi satu hal yang aku yakini: selama aku berpegang pada kejujuran dan moral, biarlah dunia menertawakan. Derajatku takkan jatuh karenanya. Malah, mungkin sedang ditinggikan bukan oleh manusia, tapi oleh kebenaran itu sendiri yang abadi.
Dan itu sudah cukup.
Karena aku memang tak pernah mencari panggung. Tabik.
(ahm301225)
Artikel Terkait
Denda Tilang DIY Anjlok Drastis, Polisi Beralih ke Teguran
Aceh dan Ibu Pertiwi: Sebuah Jeritan yang Tak Kunjung Didengar
Tito Karnavian Soroti Tumpang Tindih Data, Usulkan BNPB Jadi Pemegang Kendali
Tumpukan Kayu Gelondongan Bikin Bingung, DPR Desak Pemerintah Beri Kepastian