Ia mengingatkan, dana APBN yang dipakai untuk MBG sebagian besar bersumber dari pajak rakyat. Orang tua siswa yang menyekolahkan anaknya pun turut membayar pajak tersebut. Jadi, wajar jika rakyat menuntut pelayanan maksimal dan berhak tahu apa yang dimakan anak-anak mereka di sekolah.
"Apa sih di negara kita ini yang kemudian tidak dipajaki?" tandasnya.
"Makan dipajaki, nongkrong dipajaki, beli pakaian dipajaki, ngopi-ngopi dipajaki, minum juga dipajaki. Itulah yang kemudian menjadi bagian dari APBN digunakan untuk MBG. Jadi janganlah menyebut bahwa ini tidak bersyukur."
Lebih jauh, Adi menyoroti budaya takut yang masih mengakar. Siswa takut komplain ke guru, guru takut ke sekolah, sekolah pun takut ke dinas pendidikan. Dalam situasi seperti itu, media sosial justru menjadi saluran transparansi dan akuntabilitas yang diperlukan.
"Sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas publik, maka sangat didukung mestinya ketika ada persoalan-persoalan teknis menu terkait dengan MBG tidak sesuai dengan SOP, tidak sesuai dengan Juknis, enggak apa-apa di-upload di media sosial," katanya.
"Tujuannya adalah ini untuk memperbaiki kinerja."
Pada akhirnya, semua keluhan publik itu harus dimaknai sebagai kontrol sosial, umpan balik, dan bahan evaluasi. Program MBG yang katanya bagus, strategis, dan populis ini menggunakan dana yang sangat besar. Niat baik pemerintah saja tidak cukup jika pada level teknisnya amburadul.
"Program MBG ini adalah program bagus, program strategis, program populis pemerintah. Tapi niat baik dari pemerintah itu saja kadang tidak cukup," pungkas Adi.
"Karena pada level teknis, pada level praktiknya ada sesuatu yang tidak sesuai dengan harapan. Di situlah pentingnya koreksi, di situlah pentingnya evaluasi."
Memang, program andalan pemerintah ini bukan kali pertama menuai sorotan. Berbagai temuan di lapangan mulai dari keracunan, sakit perut, hingga menu yang tidak layak kerap mewarnai perjalanannya. Kritik seperti dari Adi Prayitno ini mungkin bisa jadi pengingat agar program yang mulia itu tak sekadar jadi wacana, tapi benar-benar dirasakan manfaatnya.
Artikel Terkait
Menyelami Estetika Prosa: Ketika Kata-Kata Menjadi Kanvas
Ratusan WNI Terjebak Sindikat Scam di Kamboja, Ibu Hamil Jadi Korban
Oknum Polisi di Probolinggo Jadi Tersangka Pembunuhan Mahasiswi UMM
Ratusan Pelajar Unjuk Solidaritas, Doa Lintas Agama Mengalun untuk Korban Bencana Sumatera