Konsep baru itu berusaha menjembatani dua hal. Di satu sisi, prinsip demokrasi dan pelibatan rakyat harus tetap jalan. Di sisi lain, pilkada harus efisien, murah, dan bebas dari praktik kotor seperti transaksi politik atau politik uang.
Lantas, bagaimana caranya agar rakyat tetap dilibatkan jika pemilihnya cuma anggota dewan? Doli membeberkan beberapa tahapan yang mungkin.
“Misalnya, pertama, tahap rekrutmen, setiap parpol atau gabungan parpol dapat membuka pendaftaran secara terbuka dengan melibatkan masyarakat,” ujarnya.
“Kedua, tahap penilaian atau seleksi bakal calon, mungkin parpol atau gabungan parpol bisa membentuk tim panel yang terdiri dari para akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan sebagainya.”
Bahkan, untuk tahap pemilihan bakal calon, bisa diadakan semacam primary election atau pemilihan pendahuluan di internal partai atau koalisi. Baru setelah itu, pemenangnya diajukan ke DPRD untuk dipilih secara final.
Soal kekhawatiran praktik tidak sehat di ruang sidang DPRD, Doli punya usul. “Pemilihan bisa dilakukan dengan voting secara terbuka,” jelasnya. Transparansi di titik akhir ini diharapkan bisa mencegah politik balas budi.
Ada satu poin penting lagi. Doli mengusulkan agar nantinya yang dipilih di DPRD hanya kepala daerahnya saja, bukan paket dengan wakilnya. Mekanisme wakilnya bisa dicari kemudian, atau lewat jalur lain jika pilkada langsung tetap dipertahankan untuk level tertentu.
“Dan itu semua harus diatur di dalam UU,” tandasnya menutup pembicaraan.
Jadi, itulah garis besar wacana yang digodok Golkar. Usulan kembali ke pilkada tidak langsung kini mendapat momentum baru. Tinggal menunggu, apakah partai lain dan publik akan menyambutnya.
Artikel Terkait
Ratusan WNI Terjebak Sindikat Scam di Kamboja, Ibu Hamil Jadi Korban
Oknum Polisi di Probolinggo Jadi Tersangka Pembunuhan Mahasiswi UMM
Ratusan Pelajar Unjuk Solidaritas, Doa Lintas Agama Mengalun untuk Korban Bencana Sumatera
Dapur Makan Bergizi: Antara Gizi Anak dan Anggaran yang Tak Boleh Padam