Dibalik Dua Akun: Gen Z dan Pertunjukan Kepribadian di Media Sosial

- Minggu, 28 Desember 2025 | 21:06 WIB
Dibalik Dua Akun: Gen Z dan Pertunjukan Kepribadian di Media Sosial

Fenomena ini juga terkait dengan apa yang disebut Danah Boyd sebagai context collapse keruntuhan konteks. Di akun utama, audiens kita campur aduk: keluarga, dosen, teman, kenalan kerja. Kita merasa harus menjaga citra tertentu. Akun kedua memberi kita audience segregation. Pengikutnya terbatas dan terpilih, jadi kita lebih bebas berekspresi tanpa takut dihakimi.

Tapi hati-hati. Jika kesenjangan antara dua dunia ini terlalu besar dan berlangsung terus, bisa-bisa kita malah mengalami self-alienation. Kita jadi bingung, sebenarnya diri kita yang mana sih?

Jebakan validasi juga berperan besar. Kita sering terjebak dalam conditional positive regard penerimaan yang bersyarat. Rasanya, kita baru akan diterima kalau punya prestasi atau penampilan yang mentereng. Likes dan komentar positif jadi patokan harga diri. Padahal, kata Rogers, kebutuhan dasar manusia justru unconditional positive regard: diterima apa adanya. Karena jarang dapat itu di panggung utama, kita kabur ke akun kedua, berharap dapat validasi yang lebih tulus dari segelintir sahabat.

Masalah utamanya bukan pada jumlah akun yang kita punya. Ini soal chronic self-discrepancy, kesenjangan diri yang kronis. Kalau jarak antara diri ideal dan pengalaman nyata kita terlalu lebar sampai bikin cemas atau depresi terus-menerus, dualitas yang awalnya strategi adaptif bisa berubah jadi pola yang merusak kesehatan mental.

Sebagai bagian dari Gen Z, kita perlu sadar. Kesempurnaan di layar itu ilusi, dan melelahkan untuk dipertahankan. Jadi, jangan merasa bersalah untuk menunjukkan sisi yang lebih nyata. Keautentikan itu kunci, tapi bukan berarti kita harus membuka semua tanpa filter. Integrasi kepribadian dimulai saat kita berusaha mempersempit kesenjangan yang menyakitkan antar berbagai versi diri kita, bukan dengan menghapus semua perbedaan yang wajar itu.

Pada akhirnya, media sosial cuma panggung. Bukan cermin yang menentukan nilai kita. Terus-terusan memoles topeng digital cuma akan bikin kita asing dengan wajah sendiri. Mungkin sudah waktunya untuk sedikit lebih berani jujur. Sebab, kematangan kepribadian tidak diukur dari seberapa banyak orang yang menyukai versi "ideal" kita, tapi dari seberapa berani kita menerima dan mencintai versi "asli" kita yang mungkin berantakan dan tidak estetik sekalipun. Di dunia yang mendewakan kesempurnaan, menjadi otentik justru adalah bentuk keberanian paling membebaskan.


Halaman:

Komentar