Sabtu lalu (27/12/2025) di Deir al-Balah, suasana di kamp pengungsian terasa berbeda. Langit kelabu menggantung, angin mulai bertiup kencang pertanda hujan akan segera tiba. Di tengah situasi itu, seorang warga terlihat sibuk membereskan tenda tempat keluarganya berteduh. Ia melipat terpal dan mengikat erat tiang-tiangnya, sebuah persiapan sederhana yang terasa sangat mendesak.
Menurut sejumlah saksi, tenda-tenda darurat itu telah menjadi rumah bagi mereka selama dua tahun penuh. Dua tahun hidup dalam ketidakpastian, sejak konflik antara Hamas dan Israel kembali memanas. Kondisinya memang jauh dari layak, tapi itulah satu-satunya pilihan.
Laporan dari Kementerian Kesehatan Gaza yang dikelola Hamas menggambarkan situasi yang semakin suram. Cuaca buruk belakangan ini bukan sekadar gangguan. Puluhan nyawa telah melayang, korban hipotermia atau reruntuhan bangunan yang tak lagi kuat menahan hujan. Yang paling menyayat hati, di antara korban itu ada bayi berusia dua minggu.
Petugas penyelamat terus mengingatkan warga untuk menjauhi bangunan yang rusak. Peringatan itu jelas dan masuk akal. Namun begitu, realita di lapangan bicara lain. Wilayah yang hancur berubah menjadi lautan puing, sehingga pilihan untuk mencari tempat berlindung yang aman hampir tidak ada. Di sisi lain, tenda yang bocor dan penuh sesak pun bukan jaminan keselamatan.
Jadi, mereka terjebak. Bertahan di tenda yang rentan diterpa badai, atau mengungsi ke gedung-gedung yang retak dan siap roboh kapan saja. Sebuah pilihan yang mustahil, di tengah musim penghujan yang tak kenal ampun.
Artikel Terkait
Prabowo dan 35 Kunjungan Luar Negeri: Mencari Pengakuan atau Diplomasi Nyata?
TMII Ganti Kembang Api dengan Ribuan Lilin untuk Sambut 2026
Ponsel Pecah di Wajah, Istri Buta Akibat Amukan Suami di Depok
Korban Tewas Bencana Sumatera Tembus 1.140 Jiwa, 163 Orang Masih Hilang