POLITIK TANPA RASA MALU
Oleh: Muhammad Iqbal Sandira
Rasanya, harapan akan perubahan besar di negeri ini lewat cara-cara lama sudah pupus. Coba ingat 1998. Saat itu, musuh kita jelas sekali: Soeharto. Elit berpecah belah, ketidakpuasan menggumpal di mana-mana, dan semua amarah politik akhirnya menyatu, mengarah ke satu sosok. Tekanan memuncak, dan rezim pun tumbang.
Tapi sekarang? Situasinya beda total. Menurut pengamatan saya, tidak ada lagi perpecahan berarti di kalangan elit. Justru, Jokowi-lah yang jadi pelopor gaya baru: POLITIK TANPA RASA MALU. Estafet ini kemudian dipegang dengan begitu apik oleh muridnya, Prabowo. Oligarki yang terbangun sudah terlampau solid, melintasi rezim. Prinsip mereka sederhana tapi efektif: selama para elit merasa kenyang dan aman, kegelisahan rakyat bisa diakali.
Mekanisme utamanya adalah politik tarik-ulur. Kesalahan kecil dibiarkan, bahkan dinormalisasi. Kalau perlu, dibela mati-matian. Namun begitu riaknya menggelembung dan mulai mengancam stabilitas, barulah muncul permintaan maaf, koreksi yang setengah hati, atau pengalihan isu yang cerdik.
Yang memprihatinkan, pejabat publik seolah kehilangan rasa malu. Mereka melakukan kesalahan-kesalahan elementer tanpa beban. Keteladanan dari atas benar-benar runtuh. Jokowi membuktikan satu hal: politik bisa dijalankan TANPA MALU. Rakyat diadu dengan sesama rakyat, buzzer dijadikan tameng, sementara kebenaran tenggelam dalam kebisingan opini. Ini bukan insiden sesaat. Ini sebuah METODE yang disengaja.
Artikel Terkait
Cinta Segitiga Berujung Maut: Polisi Gadungan Batal Nikah Usai Cekik Mahasiswi
200 Warga Suku Tautaa Wana Bersyahadat di Pedalaman Morowali Utara
Empat Truk Kontiner Berantem di Bekasi, Lalu Lintas Lumpuh Total
Kebocoran Elpiji Picu Kebakaran Tujuh Kontrakan di Pademangan