Patung Macan Putih di Balongjeruk: Karya yang Hidup Melampaui Rupanya
Polemik seputar Patung Harimau Putih di Desa Balongjeruk, Kediri, sebenarnya jauh lebih dalam dari sekadar perdebatan soal mirip atau tidak. Ini bukan cuma urusan selera. Yang terjadi di sini adalah sebuah percakapan menarik mungkin yang paling jujur belakangan ini tentang seni di ruang publik, uang rakyat, dan bagaimana kita semua menanggapi sebuah karya yang muncul dari pinggiran.
Pertama-tama, mari kita bicara soal transparansi. Poin ini penting. Kepala Desa Balongjeruk, Safi’i, dengan jelas menyatakan bahwa patung seharga Rp 3,5 juta itu dibiayai dari kantong pribadinya sendiri.
"Ini dari dana pribadi saya, bukan APBDes," tegasnya.
Pernyataan itu, sederhana saja, langsung mengubah arah kritik. Soal tata kelola keuangan desa jadi tak relevan. Perdebatan pun bergeser sepenuhnya ke wilayah yang lebih subjektif: estetika. Ranah di mana selera dan interpretasi bebas berseliweran.
Dan di situlah keajaiban terjadi. Justru karena dianggap "aneh" atau "tidak mirip", patung itu malah viral. Dari sekadar ikon kampung, ia menjelma jadi destinasi. Orang-orang rela menempuh perjalanan jauh cuma untuk berfoto di depannya, tertawa, lalu membagikannya lagi. Ironis? Tentu. Tapi itulah kenyataannya.
Ini mengingatkan kita pada teori Roland Barthes, "The Death of the Author". Begitu sebuah karya dilepas ke publik, niat awal si pembuat bisa jadi tak lagi penting. Maknanya hidup dan berkembang di tangan dan ponsel orang banyak. Patung yang dimaksudkan sebagai penjaga mitologis desa, oleh netizen dibaca ulang jadi kuda nil, zebra, atau apalah. Lalu nilai barunya tercipta: sebagai pemantik tawa dan objek wisata.
Lalu, apakah ini memalukan? Sama sekali tidak. Coba lihat dunia seni kontemporer global. Karya Maurizio Cattelan yang cuma menempel pisang dengan lakban, dijual ratusan ribu dolar. Lukisan Mark Rothko, bagi sebagian orang, cuma bidang warna. Seni seringkali bukan soal kemiripan sempurna, tapi tentang gagasan dan percakapan yang dihasilkannya.
Seperti dikatakan John Berger, cara kita melihat sangat dipengaruhi oleh apa yang kita tahu atau percayai. Apa yang kita "lihat" dari patung harimau putih ini pun begitu. Dipengaruhi ekspektasi kita tentang seni publik, pengetahuan kita tentang harimau, dan mungkin juga mood kita hari itu.
Pendapat dari dalam negeri juga patut disimak. Aminudin T.H. Siregar, seorang kurator, pernah bilang bahwa seni di ruang publik harus dilihat sebagai bagian dari ekosistem budaya lokal. Proses dan partisipasi masyarakat seringkali lebih bernilai ketimbang kesempurnaan bentuk fisiknya.
Seniman Agus Suwage punya pandangan serupa.
Artikel Terkait
Warga Murka Bakar Truk Kayu, Protes Banjir yang Tak Kunjung Usai
Ijazah Jokowi: Mengapa Kekuasaan Harus Turun Tangan?
Di Tengah Reruntuhan Gaza, Lima Ratus Penghafal Al-Quran Kibarkan Bendera Harapan
Dolfie OFP Pimpin PDIP Jateng, Bertekad Kembalikan Kandang Banteng