Bambu atau Beton: Pilihan yang Menguji Makna Rumah Ibadah di Desa

- Sabtu, 27 Desember 2025 | 13:25 WIB
Bambu atau Beton: Pilihan yang Menguji Makna Rumah Ibadah di Desa

Filosofi dan Daya Tahan: Permanen vs Adaptif

Perbedaannya nggak cuma di angka. Filosofi di baliknya juga beda banget. Masjid beton dirancang untuk bertahan lama, tanpa banyak perubahan. Konsepnya permanen. Masjid bambu justru dirancang dengan prinsip adaptif; ia butuh perawatan dan pembaruan bertahap.

Riset ITB tentang material alternatif menyebut, bambu petung yang sudah diawetkan bisa bertahan 25–30 tahun sebagai struktur utama. Dengan perawatan rutin, umurnya bisa lebih panjang lagi.

Soal biaya perawatan, masjid beton bisa menghabiskan Rp15–30 juta per tahun untuk perbaikan keramik, kebocoran, atau masalah struktur. Untuk masjid bambu, dengan material lokal dan perbaikan swadaya, biayanya jauh lebih ringan. Apalagi ketika menghadapi bencana, masjid bambu punya fleksibilitas lebih baik. Pemulihannya lebih mudah ketimbang struktur beton berat yang sekali rusak, parah akibatnya.

Melampaui Angka: Prestise, Tradisi, dan Etika Lingkungan

Tapi ya itu, angka-angka tadi jarang jadi pertimbangan utama. Dalam banyak kasus, keputusan memilih beton lebih didorong faktor simbolik. Masjid dianggap sebagai penanda prestise sosial desa. Semakin besar dan permanen, semakin dianggap sukses. Masjid bambu? Ia kalah sejak awal karena dikait-kaitkan dengan kemiskinan atau kondisi darurat.

Padahal, laporan World Green Building Council mengungkap fakta lain. Beton menyumbang sekitar 8% emisi karbon global. Sementara bambu justru menyerap karbon selama masa tumbuhnya. Jadi, pilihan material ini sebenarnya juga soal etika lingkungan. Kita sebenarnya punya tradisi bagus dalam hal ini. Dulu, masjid-masjid kayu dan bambu adalah arus utama Islam Nusantara.

Penutup: Makna di Balik Material

Jadi, pilihan antara bambu dan beton pada akhirnya memang bukan sekadar material. Ia mencerminkan cara sebuah desa memaknai ibadah, waktu, dan sumber dayanya. Beton menawarkan kemegahan yang mahal dan kaku. Bambu menawarkan kesederhanaan yang lentur dan terjangkau.

Di tengah keterbatasan anggaran desa dan ancaman bencana yang nyata, pertanyaannya bisa kita sederhanakan: apakah rumah ibadah harus mahal agar bermakna? Masjid bambu memberikan jawaban yang tenang. Cukup layak, cukup kuat, dan yang penting, dekat dengan realitas warganya.

Muhibbullah Azfa Manik


Halaman:

Komentar