EDITORIAL JAKARTASATU: Kejujuran Tak Pernah Padam, Kecuali pada Mereka yang Berkhianat
Kita semua tahu kejujuran itu penting. Nilai ini selalu diagung-agungkan, muncul dalam pidato, slogan di sekolah, hingga khotbah di tempat ibadah. Tapi coba lihat sekeliling. Semakin gencar dibicarakan, justru semakin jarang ia benar-benar dipraktikkan. Ada ironi yang pahit di sini. Sebenarnya, kejujuran sendiri tak pernah mati. Ia tak lapuk dimakan zaman. Yang justru padam dan menghilang adalah komitmen manusia untuk menjaganya terutama saat mereka memilih untuk berkhianat.
Jangan dikira kejujuran itu rapuh. Bukan. Sejak dulu kala, ia adalah fondasi dari segala hubungan dan kepercayaan. Perekat antarindividu, penyangga masyarakat, sekaligus kompas moral dalam diri. Kalau pun ia terlihat menghilang, sesungguhnya ia cuma ditinggalkan. Bukan lenyap.
Pengkhianatan selalu dimulai dari keputusan sadar. Tidak ada seorang pun yang berkhianat secara tidak sengaja. Pengkhianatan lahir dari pilihan untuk menutup mata terhadap kebenaran demi keuntungan pribadi, rasa aman semu, atau ambisi sesaat. Ketika seseorang berkata bahwa “kejujuran sudah tidak relevan,” sejatinya ia sedang membenarkan pengkhianatannya sendiri. Ia tidak sedang menggambarkan dunia apa adanya, melainkan membela kelemahannya.
Sejarah sudah membuktikannya. Di era paling kelam sekalipun, selalu ada suara kecil yang bersikukuh pada kebenaran. Di tengah korupsi yang merajalela, tetap ada yang menolak tunduk. Mereka mungkin tak punya kuasa, tapi martabatnya utuh. Ini menunjukkan bahwa kejujuran bukan soal jumlah pengikut. Ia bertahan karena keberanian segelintir orang yang setia menjaganya.
Nah, yang berbahaya, pengkhianatan sering kali datang dengan wajah yang ramah. Ia menyamar sebagai kompromi. Pakai bahasa yang halus: “ini demi keadaan,” atau “untuk kebaikan bersama.” Tapi ujung-ujungnya sama saja. Pengkhianatan tetaplah pengkhianatan. Ia menggerogoti integritas pelan-pelan, sampai akhirnya seseorang tak lagi mengenali dirinya sendiri. Di titik itu, kejujuran seolah padam. Padahal, yang padam adalah nurani si pengkhianat.
Dampaknya paling terasa dalam hubungan personal. Percaya yang dibangun bertahun-tahun, bisa hancur oleh satu kebohongan. Tapi menariknya, standarnya tetap sama: kejujuran. Saat dikhianati, orang tidak serta-merta berhenti percaya pada nilai kejujuran. Mereka cuma berhenti percaya pada orang yang mengkhianatinya. Lagi-lagi, ini bukti bahwa nilai itu sendiri tak pernah padam. Yang rusak adalah manusianya.
Artikel Terkait
Polisi Gadungan Bongkar Motif Cinta Segitiga di Balik Pembunuhan Mahasiswi ULM
Arab Saudi Kecam Pengakuan Israel atas Somaliland: Langkah Berbahaya dan Melanggar Hukum
Pekerja India Didenda Rp 5,2 Juta Usai Buang Air Besar di Depan Marina Bay Sands
Sapaan Teteh dan Bahasa Hati di Pangandaran