Rabu kemarin, Hamas merilis dokumen tebal. Isinya? Sebuah laporan setebal 42 halaman yang berusaha membantah keras tuduhan bahwa warga sipil jadi sasaran pada 7 Oktober lalu. Mereka bilang, para pejuangnya sudah dapat perintah jelas: jangan sentuh warga sipil, rumah sakit, sekolah, atau petugas medis. Tak lupa, mereka menuding Israel-lah yang gencar menyebarkan informasi palsu. Karena itu, Hamas mendesak Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) atau badan independen lain untuk turun tangan menyelidiki klaim soal korban sipil itu.
Bagi Hamas, serangan 7 Oktober bukan aksi sembarangan. Mereka menyebutnya sebagai operasi perlawanan yang sah dan menurut mereka sangat berhasil. "Israel mengarang kebohongan," begitu kira-kira bunyi dokumen itu, "bahkan membunuh rakyatnya sendiri. Semua itu cuma kedok untuk membenarkan genosida."
Nah, di sinilah ironinya muncul. Menurut Hamas, sekarang justru Israel yang ogah-ogahan diaudit oleh penyelidikan independen. Sementara mereka sendiri yang memintanya. "Kita tahu siapa teroris sebenarnya," begitu dokumen itu menyiratkan, dengan nada penuh keyakinan.
Dokumen yang dirilis dalam bahasa Arab dan Inggris itu diberi judul cukup panjang: "Narasi Kami: Banjir Al-Aqsa Dua Tahun Keteguhan dan Tekad untuk Pembebasan". Isinya tak cuma soal teknis militer. Hamas menegaskan bahwa "Banjir Al-Aqsa" lebih dari sekadar operasi militer biasa. Mereka menyebutnya sebagai kelahiran kesadaran baru, sebuah kemauan untuk merdeka yang katanya tak bisa diputarbalikkan.
Perang dan genosida, tulis mereka, gagal total menghancurkan rakyat Palestina atau menghapus ingatan kolektif mereka.
Artikel Terkait
Arab Saudi Kecam Pengakuan Israel atas Somaliland: Langkah Berbahaya dan Melanggar Hukum
Pekerja India Didenda Rp 5,2 Juta Usai Buang Air Besar di Depan Marina Bay Sands
Sapaan Teteh dan Bahasa Hati di Pangandaran
Ahli Digital Forensik Serukan People Power untuk Makzulkan Gibran pada 2026