"IPK kamu berapa?"
Pertanyaan itu hampir pasti muncul saat kita baru kenal di kampus. Seolah-olah satu angka itu bisa mewakili segalanya: perjuangan, waktu, bahkan nilai kita sebagai pribadi. Sistem seakan meyakinkan kita: IPK tinggi adalah jaminan masa depan. Tapi coba kita lihat lebih dalam. Di balik transkrip nilai yang rapi, seringkali ada kegelisahan yang tak pernah tercatat.
Saya pernah mengalaminya, dan mungkin kamu juga. IPK itu pelan-pelan berubah. Dari sekadar ukuran akademik, ia jadi penentu harga diri. Nilai bagus? Rasanya dunia aman. Turun sedikit? Langsung terasa seperti kegagalan besar. Rasa cemas dan malu pun datang. Seakan-akan hidup bisa runtuh hanya karena satu semester yang kurang sempurna.
Padahal, sejak dulu IPK kan cuma dibuat untuk mengukur pencapaian di kelas. Bukan untuk menilai ketahanan mental, empati, atau bagaimana kita menghadapi saat hidup nggak sesuai rencana. Sayangnya, sistem kita sudah telanjur menyempitkan arti sukses jadi sesuatu yang bisa dihitung dan dibanding-bandingkan. Alhasil, belajar pun kehilangan makna. Yang dikejar bukan lagi pemahaman, tapi angka.
Tekanan ini nggak cuma dari kampus, lho. Lingkungan sekitar punya andil besar. Orang tua, dengan segala niat baiknya, kerap menaruh harapan besar pada nilai. Masyarakat juga ikut-ikutan memuja gelar dan IPK mentereng sebagai simbol keberhasilan. Tanpa sadar, kita menciptakan budaya yang sangat tidak toleran pada kegagalan. Gagal bukan lagi bagian dari proses belajar, tapi sesuatu yang memalukan dan harus ditutup-tutupi.
Artikel Terkait
27 Desember: Hari Lahir Bank Dunia, Pecahnya Korea, dan Lagu Abadi Nike Ardilla
Anggaran Bencana Miliaran Triliun, Lalu Kemana Laporannya?
Ratusan Gelondong Petasan Diamankan Polisi di Parung Panjang Jelang Tahun Baru
Kabareskrim Ingatkan Warga: Jangan Tergiur Janji Gaji Fantastis ke Luar Negeri