Mencari Makna Islah di Tengah Gelombang Konflik Internal NU

- Jumat, 26 Desember 2025 | 19:25 WIB
Mencari Makna Islah di Tengah Gelombang Konflik Internal NU

Ambil contoh konflik internal di tubuh PBNU belakangan ini. Iṣlāḥ menjadi kata kunci untuk penyelesaian secara konstitusional. Berbagai elemen, mulai dari Rais Aam hingga Ketua Umum, telah membuka ruang dialog. Tujuannya jelas: mencegah perpecahan dan menjaga ukhuwah jam’iyyah.

Memang, sejak awal berdirinya, NU sudah punya semangat islah yang mengakar. Organisasi ini lahir sebagai respons terhadap kolonialisme dan keinginan kuat untuk memperbaiki kondisi umat. Caranya? Melalui pendidikan pesantren, dakwah, dan penguatan tradisi Islam yang moderat serta inklusif.

Dalam artian ini, tak berlebihan jika disebut bahwa NU sejak dulu berfungsi sebagai jam’iyyah iṣlāḥ wa taqwiyah organisasi yang menegakkan perbaikan sekaligus penguatan umat.

Sebagai bagian dari ahlus sunnah wal jama’ah, NU tak pernah menutup diri dari perubahan. Organisasi ini terbuka mengambil hal-hal baru, asalkan punya dampak positif bagi kemaslahatan umat. Orientasi ini selaras dengan konsep maqāṣid al-syarī‘ah, yang menempatkan maslahah sebagai landasan utama.

Dua Sisi Islah: Moral dan Struktural

Seruan iṣlāḥ juga punya dimensi moral yang kental. Ia bukan sekadar tindakan administratif atau prosedural belaka. Lebih dari itu, ia adalah nasihat moral dari para sesepuh sebuah warisan tradisi keulamaan NU yang tak ternilai.

Dimensi moral ini penting agar penyelesaian masalah dilakukan dengan hikmah, adab, dan akhlak Islami. Ini menegaskan bahwa islah di NU bukan rekonsiliasi pragmatis ala politik transaksional. Melainkan sebuah proses tausiyah yang beradab.

Jadi, islah bukan kata kosong yang diulang-ulang untuk menciptakan kedamaian semu. Ia adalah agenda ganda: moral dan struktural. Ia menuntut tindakan nyata untuk membenahi kelembagaan dan sekaligus memperteguh komitmen pada prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah fondasi utama keberadaan NU.

Pada akhirnya, jika iṣlāḥ dijalankan dengan benar, berlandaskan nilai agama, aturan organisasi, dan kemaslahatan umat, maka konflik internal justru bisa jadi momentum berharga. Saat untuk tadabbur, evaluasi kelembagaan, dan penguatan kembali arah organisasi.

Khaerul Umam, Mahasiswa Magister Ilmu Hadis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.


Halaman:

Komentar