Tantangan Baru di Era Keterbukaan
Zaman sudah berubah. Santri sekarang hidup berdampingan dengan gawai dan media sosial. Mereka terpapar wacana tentang hak asasi, perlindungan anak, dan akuntabilitas. Kasus-kasus kekerasan atau penyalahgunaan wewenang di lembaga pendidikan kini mudah viral, menyorot semua pihak, tak terkecuali pesantren.
Karena itu, tuntutan untuk transparan dan akuntabel semakin keras terdengar. Pesantren didorong untuk membenahi tata kelola, mulai dari pengelolaan keuangan, sistem pengaduan, sampai rekrutmen pengajar.
Di sisi lain, santri generasi baru ini juga makin berani bersuara. Mereka menyampaikan kegelisahan, baik di forum internal maupun lewat kanal digital. Suara-suara ini harus didengar. Kalau diabaikan, justru bisa membuat mereka menjauh. Padahal, merekalah masa depan pesantren itu sendiri.
Mengubah Arah Dialog
Lantas, solusinya bukanlah meruntuhkan wibawa kiai. Sama sekali bukan. Yang diperlukan adalah penataan ulang cara kita memaknai hormat dan taat. Santri harus tetap diajari adab, tapi juga diberi ruang untuk bertanya, berdebat, bahkan berbeda pandangan tentu dengan cara yang santun. Menghormati guru tidak sama dengan membenarkan segala hal secara membabi buta.
Di sinilah peran generasi muda pesantren yang melek ilmu sosial dan hukum modern bisa menjadi jembatan. Mereka bisa membantu merumuskan mekanisme musyawarah yang lebih sehat, menyusun kode etik, dan mendorong tata kelola yang terbuka. Tujuannya satu: memadukan tradisi dengan tuntutan zaman. Dengan begitu, relasi kiai-santri bisa berkembang dari hubungan satu arah menjadi dialog yang saling menguatkan.
Menuju Pesantren yang Lebih Berdaya
Jadi, membahas "bayang feodalisme" ini pada dasarnya adalah undangan untuk muhasabah, introspeksi bersama. Lembaga yang menjadi sumber cahaya ilmu dan akhlak justru akan semakin kokoh jika berani menengok sisi-sisi yang mungkin selama ini tersembunyi di balik tirai tradisi.
Pesantren yang berani bertransformasi yang menyatukan adab, ilmu, dan keterbukaan akan jauh lebih berdaya menghadapi kegaduhan zaman. Di pesantren seperti inilah, santri tak cuma jadi penghafal kitab. Mereka akan tumbuh sebagai manusia merdeka: kritis, berani bersuara, tapi tetap beradab kepada gurunya. Itulah pesantren yang tak cuma bangga pada masa lalu, tapi juga siap menyongsong masa depan dengan percaya diri.
Artikel Terkait
Puncak-Cipanas Siaga Macet, 1.300 Personel Dikerahkan Jelang Malam Tahun Baru
Tol Cipali Sepi Pasca-Lebaran, Volume Kendara Anjlok 51 Persen
H+1 Natal, Tol Cipali Sepi: Lalu Lintas Anjlok Hampir 40 Persen
Islah di Tubuh NU: Bukan Sekadar Jargon, Tapi Agenda Perbaikan Nyata