Gugatan Cerai Melonjak: Perempuan Indonesia Kini Lebih Berani?

- Jumat, 26 Desember 2025 | 09:50 WIB
Gugatan Cerai Melonjak: Perempuan Indonesia Kini Lebih Berani?

Angka perceraian di Indonesia terus merangkak naik. Data terbaru dari Kementerian Agama untuk tahun 2024 mencatat ada 466.359 kasus. Jumlah ini terlihat cukup signifikan jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, yang 'hanya' sekitar 408.340 kasus. Yang menarik, tren perpisahan ini justru berjalan beriringan dengan penurunan jumlah pernikahan dalam beberapa tahun belakangan. Sebuah fenomena sosial yang patut dicermati.

Kalau dilihat dari persebarannya, Jawa masih mendominasi. Data BPS 2024 menempatkan Jawa Barat di puncak, dengan angka yang nyaris menyentuh 89 ribu kasus. Jawa Timur dan Jawa Tengah menyusul di posisi berikutnya. Di luar Jawa, Sumatera Utara dan Lampung juga mencatat angka yang cukup tinggi, masing-masing di atas 14 ribu kasus. Sementara itu, DKI Jakarta, meski jadi pusat urban, 'hanya' mencatat sekitar 12 ribu kasus perceraian.

Nah, ada satu pola yang konsisten dari tahun ke tahun: mayoritas perceraian diinisiasi oleh pihak istri. Sekitar 75-77% kasus adalah cerai gugat. Artinya, lebih banyak perempuan yang memutuskan untuk membawa persoalan rumah tangganya ke meja hijau, ketimbang laki-laki. Ini bukan angka kecil, dan jelas bicara banyak tentang perubahan dinamika dalam keluarga Indonesia.

Di tingkat daerah, ceritanya bisa lebih personal dan terasa. Ambil contoh Brebes. Sepanjang 2024, Pengadilan Agama setempat menerima hampir 5.000 gugatan cerai. Angka itu mungkin kalah besar dibanding provinsi besar, tapi bagi sebuah kabupaten, peningkatan yang mencolok dalam setahun ini menggambarkan betapa konflik rumah tangga dan tekanan hidup sehari-hari benar-benar meretakkan banyak ikatan.

Tekanan ekonomi, rupanya, masih jadi biang kerok utama. Di wilayah seperti Garut, Cirebon, dan Bekasi, beban hidup pasca pandemi, masalah pengangguran, dan pergeseran peran pencari nafkah seringkali disebut sebagai pemicu utama dalam berkas-berkas gugatan. Di Jakarta, berdasarkan data 2023-2024, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) juga kerap menjadi alasan kuat perempuan memutuskan untuk bercerai.

Lantas, apa yang mendorong perempuan kini lebih berani mengajukan cerai?

Pertama, kesadaran akan hak-hak hukum mereka sudah jauh lebih baik. Perempuan sekarang lebih paham posisi dan perlindungan apa yang bisa mereka dapatkan, sehingga tak ragu mengambil langkah hukum ketika merasa hubungan sudah tidak sehat.

Kedua, faktor kemandirian. Perubahan sosial dan ekonomi membuat banyak perempuan kini punya kaki sendiri. Mereka tak lagi sepenuhnya bergantung secara finansial atau emosional pada suami. Hubungan yang tidak membahagiakan pun dianggap tak perlu dipaksakan hanya untuk menjaga 'gengsi' status pernikahan.

Ketiga, tentu saja, adalah respons terhadap perilaku pasangan yang tak bisa ditolerir. Pengabaian, kekerasan, atau ketiadaan dukungan sama sekali seringkali menjadi titik puncak yang memutuskan segalanya. Bagi banyak ibu, pilihan bercerai diambil demi melindungi diri dan masa depan anak-anak mereka.

Terakhir, sistem hukum kita sendiri memberi ruang. Proses cerai gugat melalui Pengadilan Agama, meski berbelit, justru memberikan struktur yang memungkinkan perempuan menyampaikan alasannya secara formal dan didengarkan.

Lalu, Bagaimana Agama Memandangnya?


Halaman:

Komentar