Ada dilema etis yang sering kita abaikan: soal loyalitas keluarga. Di budaya kita, berbakti pada orang tua itu nilai yang sangat dijunjung. Tapi bagi seorang pejabat publik, ketika kesetiaan pada keluarga berbenturan dengan kepentingan rakyat, itu namanya pengkhianatan terhadap mandat yang diberikan.
Loyalitas yang Salah Tempat
Seorang pemimpin dituntut berani mengambil jarak. Bahkan, kalau perlu, memutus ketergantungan politik dengan keluarganya sendiri. Tanpa keberanian itu, pemimpin muda cuma akan jadi perpanjangan tangan dari patron lama. Mereka bukan agen perubahan, tapi justru medium untuk meregenerasi korupsi itu sendiri.
Pada akhirnya, kasus ini mengajarkan satu hal: regenerasi itu bukan cuma soal ganti generasi. Selama sistemnya masih ditopang oleh patronase keluarga, ketergantungan pada modal besar, dan kesetiaan sempit, maka pemimpin muda mana pun akan tetap berjalan di dalam bayang-bayang masa lalu.
Korupsi itu tidak memandang usia. Dia hidup dari kompromi-kompromi moral dan dari keberanian yang tak kunjung diambil. Perubahan sejati hanya bisa lahir dari pemimpin yang punya nyali untuk berdiri sendiri meski itu berarti harus berjarak dari lingkaran terdekatnya.
Kalau nyali itu tidak ada, politik kita hanya akan terus sibuk mengganti wajah, tanpa pernah sekalipun mengubah wataknya.
Artikel Terkait
Maninjau Terlanda Banjir Bandang untuk Kesekian Kali, Warga Mengungsi Kembali
Cemburu Membara, Pria Gelapkan Golok di Gerai Bakso Ciparay
Indonesia Emas 2045 atau Justru Indonesia Cemas? Nilai Akademik Siswa SMA Picu Alarm
Prabowo Ajak Warga Maknai Natal sebagai Perekat Persatuan Nasional