Kesombongan Moral: Ketika Lupa Asal-Usul Menjadi Akar Kehancuran

- Kamis, 25 Desember 2025 | 14:00 WIB
Kesombongan Moral: Ketika Lupa Asal-Usul Menjadi Akar Kehancuran

Moralitas dan Seni Mengingat Asal

Moral jarang ambruk oleh kejahatan yang terang-terangan. Ia lebih sering retak perlahan, dikikis oleh hal yang tampak remeh: kelupaan. Lupa yang sunyi, hampir tak terasa, tapi dibiarkan saja merambat seperti akar di sela-sela kesadaran. Dari situlah kesombongan mulai bersarang bukan sebagai gebrakan, tapi sebagai keyakinan diam-diam bahwa kita sudah lebih baik dari yang lain. Kita lupa pada kulit kita sendiri: batas fisik yang justru mengingatkan bahwa nasib kita pada dasarnya setara. Lupa bahwa jauh sebelum jadi hakim, kita adalah sesama manusia.

Kulit itu bukan cuma selubung biologis, lho. Ia adalah metafora yang kuat. Ia menandai keterbatasan, kerentanan, dan potensi kita untuk terluka. Mengingat kulit artinya mengakui bahwa kita nggak kebal, nggak mutlak, dan punya sejarah sendiri yang tak sempurna. Tapi kesombongan punya cara licik untuk melucuti ingatan ini. Ia membisiki kita bahwa batas adalah mahkota, bahwa perbedaan adalah cela, dan bahwa kemenangan sekecil apapun adalah bukti final bahwa kita benar.

Nah, di sinilah hal-hal yang “aneh” jadi sasaran. Keanehan ini bukan cuma soal selera. Ini soal moral. Yang aneh mengacaukan narasi rapi yang kita bangun tentang diri sendiri. Ia mengingatkan bahwa dunia ini nggak disusun cuma buat memuaskan ego satu kelompok. Maka, yang beda harus segera dikasih label, dibatasi maknanya, atau yang paling gampang: ditertawakan. Bukan karena dia salah, tapi karena dia memaksa kita untuk bercermin. Dan dalam tawa itu, moralitas mundur selangkah. Kita memilih aman, ketimbang jujur melihat asal-usul kita.

Kesombongan moral ini sering banget pakai jubah kepastian etis. Dia bicara atas nama nilai-nilai luhur, tapi sekaligus nutup rapat-rapat pintu pertanyaan. Dia merasa menang karena sudah memilih kubu, lupa bahwa moral yang sesungguhnya bukan tentang berdiri di podium, tapi tentang kesediaan untuk menimbang-nimbang. Kemenangan yang tak pernah diuji keraguan adalah kemenangan yang rapuh. Dia butuh musuh agar tetap berdiri, dan butuh kelupaan agar tidak runtuh oleh rasa empati.

Albert Camus sudah mengingatkan bahayanya. Dia bilang:

Jadi, kejahatan itu nggak selalu lahir dari niat jahat. Bisa juga datang dari ketidaktahuan yang merasa dirinya sudah cukup tahu. Ini wajah lain kesombongan moral: keyakinan buta bahwa niat baik saja sudah cukup untuk membenarkan segalanya. Dalam kondisi begini, lupa jadi berbahaya karena ia membebaskan kita dari kewajiban untuk memahami.

Sebaliknya, moral yang hidup justru lahir dari ingatan yang nggak nyaman. Ingatan bahwa kita pernah salah, pernah takut, pernah jadi si “aneh” di mata orang lain. Ingatan macam ini nggak melemahkan nilai-nilai kita; malah membersihkannya dari kesombongan. Soalnya, cuma orang yang ingat betapa rapuhnya dirinya yang bisa berlaku adil tanpa merasa lebih tinggi. Moralitas nggak butuh pemenang ia butuh manusia yang bersedia untuk tidak selalu merasa benar.


Halaman:

Komentar