Banjir Sumatera: Cermin Retak Solidaritas dan Kekuasaan yang Tumpul

- Kamis, 25 Desember 2025 | 10:25 WIB
Banjir Sumatera: Cermin Retak Solidaritas dan Kekuasaan yang Tumpul

Banjir, Oligarki, dan Krisis Solidaritas Sosial

Oleh: Asep Supri
Mahasiswa Program Doktoral UIN Bandung peminat kajian Ekonomi Politik Islam dan Keadilan Ekologis.

Banjir besar kembali melanda Sumatera. Lagi-lagi. Penjelasan yang sering kita dengar selalu berkutat pada curah hujan ekstrem dan perubahan iklim. Memang, itu semua benar. Tapi coba kita pikirkan, mengapa bencana ini terus berulang di tempat yang sama? Ada yang lebih dalam, lebih kelam, dari sekadar cuaca. Ini soal cara kita memperlakukan alam dan soal siapa yang sebenarnya berkuasa atasnya.

Lihatlah faktanya di lapangan. Hutan-hutan yang dulu hijau, kini banyak yang gundul. Pembalakan dan alih fungsi lahan skala besar telah merampas fungsi hutan sebagai penjaga keseimbangan alam. Ia tak lagi jadi penyangga, melainkan sekadar komoditas yang diperjualbelikan. Nah, di sinilah persoalannya menjadi rumit. Proses penghancuran ini jarang berjalan sendiri. Ia biasanya berkelindan dengan relasi intim antara pengusaha besar dan kekuatan politik. Akibatnya, bencana alam tak pernah benar-benar alamiah lagi. Ia sudah jadi persoalan keadilan dan salah urus negara.

Memang mudah menyebut ini sebagai kegagalan pengawasan atau hukum yang lembek. Namun begitu, ketika pola yang sama terulang terus-menerus, kita harus berani melihat akarnya. Negara seringkali tidak hadir sebagai pelindung yang netral. Ia justru terjerat dalam jejaring kepentingan yang membuat aturan-aturan itu kehilangan taringnya. Yang terjadi kemudian jelas: masyarakat kecil yang menanggung semua dampak ekologis dan sosialnya. Sementara keuntungan ekonominya mengalir deras hanya ke segelintir orang.

Struktur kekuasaan kita memang cenderung elitis. Ketika akses mengeruk sumber daya alam ditentukan oleh kedekatan dengan kekuasaan, apa jadinya? Solidaritas sosial pun terkikis perlahan. Keselamatan warga dan masa depan lingkungan terpinggirkan oleh logika serakah yang hanya memikirkan untung cepat. Dalam situasi seperti ini, banjir bukan lagi sekadar air yang datang dari langit. Ia adalah produk akhir dari relasi sosial-politik yang timpang dan tidak adil.

Mengutip pemikiran Ibnu Khaldun tentang ‘ashabiyah’, kita bisa memahami ini dengan lebih jernih. Dalam Muqaddimah-nya, sang filsuf menegaskan bahwa negara bertahan bukan cuma karena hukum atau kekayaan. Fondasi utamanya adalah solidaritas sosial yang mengikat penguasa dan rakyat dalam satu tujuan bersama.


Halaman:

Komentar