Oleh: Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Keadilan? Rasanya seperti lelucon belaka.
Gugatan Tim Pemeriksa Urusan Akademik (TPUA) soal dugaan ijazah palsu Presiden Jokowi akhirnya ditolak. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan mereka tak punya wewenang, atau dalam istilah hukumnya, niet ontvankelijke verklaard (N.O). Intinya, pengadilan menolak untuk memeriksa pokok perkara.
Alasannya? Hakim menerima eksepsi atau keberatan formal dari kuasa hukum Jokowi, Otto Hasibuan. Mereka berargumen bahwa perkara semacam ini bukan ranah pengadilan negeri, melainkan harus dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Sebenarnya, putusan seperti ini tidak terlalu mengejutkan. Lidah hakim memang tak bertulang. Dan vonis N.O untuk gugatan serupa terkait ijazah Gibran, yang keluar Senin lalu, seolah menjadi preseden. Amar putusannya sama: PN Jakpus dianggap tidak berwenang.
Lalu, bagaimana nanti dengan proses serupa yang sedang berjalan di Pengadilan Negeri Surakarta? Bisa ditebak, hasilnya kemungkinan besar akan serupa. Soalnya, baik pengadilan di Jakarta maupun Solo itu satu atap di bawah Mahkamah Agung. Nah, posisi Ketua MA sendiri penentuannya melibatkan persetujuan DPR dan pelantikan oleh Presiden. Ada aroma politik di sana. Jabatan itu tidak murni karir struktural, tapi lebih seperti cermin dari teori politik kekuasaan.
Di sisi lain, kalau kita lihat dari sudut yurisdiksi, memang ada persoalan lain. Misalnya, jika perkara ini dipaksakan ke PTUN, maka akan terbentur soal tenggat waktu. Gugatan ke PTUN harus diajukan paling lambat 90 hari sejak dokumen dalam hal ini ijazah diterbitkan oleh Rektor UGM.
Pertanyaannya, sudah berapa lama ijazah Jokowi itu terbit? Jelas sudah jauh melampaui batas 90 hari. Jadi, kalau pun dipaksakan ke PTUN, hampir pasti gugatan akan ditolak lagi dengan alasan kedaluwarsa. Nasib gugatan ini ibarat bola pingpong, dipukul dari meja yang satu ke meja lainnya tanpa pernah benar-benar dimainkan.
Para hakim sebenarnya tahu betul soal aturan daluwarsa ini. Mereka hafal di luar kepala.
Namun begitu, dari kacamata teori hukum murni, putusan N.O ini sebenarnya bermasalah. Ia bertentangan dengan beberapa asas hukum dasar. Coba kita lihat beberapa di antaranya.
Pertama, ada asas mala in se. Intinya, sebuah pelanggaran atau kejahatan tetaplah kejahatan, sampai kapan pun. Tugas pengadilanlah untuk menetapkannya, baik lewat jalur pidana maupun perdata, agar ada kepastian hukum.
Artikel Terkait
Ragunan Dibanjiri 28 Ribu Pengunjung di Pagi Natal, Diprediksi Tembus 50 Ribu
Panglima TNI Resmikan Gedung Jenderal Soedirman, Pengawal VVIP Kini Punya Markas Modern
Kesombongan Moral: Ketika Lupa Asal-Usul Menjadi Akar Kehancuran
Pedagang Emas Tertembak Usai Kejar Penjual Liontin Palsu di Sukajadi