Diskusi Buku di Yogya Diawasi Ketat, Polisi Tuntut Izin Keramaian

- Rabu, 24 Desember 2025 | 21:25 WIB
Diskusi Buku di Yogya Diawasi Ketat, Polisi Tuntut Izin Keramaian

Buku yang Menggugat dan Suara yang Ingin Dibungkam

Nah, konteks bukunya sendiri menarik. Buku itu bukan bacaan ringan. Ia dokumentasi suara perempuan akar rumput yang kena dampak pembangunan. Di tengah gegap gempita proyek nasional seperti IKN atau PSN, mereka justru sering jadi korban pertama. Ladang digusur, rumah terancam, ruang hidup direnggut atas nama “kemajuan”.

Buku ini berusaha mengangkat cerita mereka sebagai pengetahuan tandingan. Melawan narasi pembangunan yang selama ini terasa maskulin dan dingin, mengabaikan dampak sosialnya.

Dalam kerangka inilah, kehadiran polisi di diskusi itu dapat dilihat lebih dalam. Ini bukan sekadar salah prosedur. Tapi bagian dari pola yang lebih sistematis: pembungkaman terhadap pengetahuan kritis yang lahir dari pinggiran. Suara perempuan dan warga kampung masih sering dianggap ancaman, bukan sebagai subjek yang sah untuk didengar.

Praktik semacam ini, menurut penyelenggara, mengulang logika kolonial. Logika yang meminggirkan dan akhirnya membungkam mereka yang dianggap kecil.

Lantas, Apa yang Tertinggal?

Meski diawasi, diskusi itu berjalan sampai selesai. Polisi tetap di tempat, peserta tetap berbicara. Tapi ketegangan yang tercipta sore hingga malam itu meninggalkan bekas. Dan pertanyaan.

Insiden kecil di Yogyakarta ini mengingatkan kita: kebebasan berekspresi bukan barang jadi. Ia harus terus diperjuangkan. Jaminan di atas kertas tidak otomatis membuat kita aman. Hak itu bisa tergerus perlahan oleh praktik represif yang dikemas rapi, oleh pengawasan yang membuat kita sungkan.

Penyelenggara sudah menyampaikan penolakan mereka. Mereka minta negara berperan sebagai penjamin, bukan penyempit ruang berpikir.

Pertanyaan besarnya sekarang: akankah ini terjadi lagi di tempat lain? Akankah suara perempuan dari kampung-kampung terdampak masih bisa sampai ke publik, atau akan selalu diawasi oleh sosok seragam dari sudut ruangan?

Jawabannya, tentu saja, tidak cuma ada di tangan aparat. Tapi juga pada kita yang percaya bahwa setiap orang berhak didengar. Setiap pikiran berhak disampaikan. Dan setiap buku berhak didiskusikan tanpa rasa was-was.


Halaman:

Komentar