Dua Polisi Datangi Diskusi Buku, Tanya Soal Izin Keramaian
Lampu remang-remang menyinari ruangan. Puluhan orang duduk, tatapan mereka tertuju ke depan. Suara moderator diskusi terdengar tegas, meski sesekali gemetar. Bukan karena gugup. Tapi karena di sudut ruang itu, dua polisi berseragam berdiri diam. Mereka mengawasi. Adegan ini bukan cuplikan film thriller, tapi kejadian nyata di Yogyakarta, Senin 22 Desember 2025 lalu.
Acara yang digelar Konde.co, Marjin Kiri, dan Trend Asia itu membedah buku berjudul "Pembangunan untuk Siapa? Kisah Perempuan di Kampung Kami". Menurut penyelenggara, aparat datang dua kali. Pertama sore hari, menanyakan izin keramaian. Kedua, mereka kembali dan bertahan mengawasi dari awal acara hingga selesai malam hari.
Polisi punya alasan sendiri. Mereka bilang kegiatan seperti ini wajib punya izin. Tapi pihak penyelenggara bersikukuh lain. Bagi mereka, diskusi buku adalah hak konstitusional warga negara. Bukan sesuatu yang harus minta restu aparat keamanan. Mereka menilai tindakan polisi itu sebagai bentuk intimidasi, sebuah pengawasan berlebihan yang melukai kebebasan berekspresi.
Perdebatan yang Tak Kunjung Usai: Hak atau Izin?
Sore itu suasana tenang langsung berubah. Kedatangan polisi mempertanyakan satu hal: izin keramaian. Menurut mereka, acara diskusi buku wajib punya izin atau setidaknya memberi pemberitahuan.
Pihak penyelenggara menolak. Argumen mereka sederhana tapi kuat. Diskusi publik, termasuk bedah buku, adalah hak dasar yang dijamin konstitusi. Mereka mengutip Pasal 28E UUD 1945 tentang kebebasan menyatakan pikiran dan berkumpul. Juga Pasal 28F soal hak mencari dan menyampaikan informasi.
“Ini bukan rapat umum atau unjuk rasa yang diatur UU No. 9 Tahun 1998,” begitu kira-kira penjelasan mereka. Diskusi buku di ruang terbatas dengan peserta yang undangan, menurut mereka, jelas berbeda. Polisi mungkin merujuk Perpol No. 7 Tahun 2023 tentang keramaian umum. Tapi lagi-lagi, penyelenggara merasa aturan itu tidak relevan untuk acara semacam ini. Buat mereka, ini salah alamat.
Efek yang Mengganggu: Rasa Takut yang Ditanamkan
Namun begitu, kehadiran polisi tidak berhenti pada teguran. Mereka memilih tinggal. Mengawasi. Dari belakang, mereka menyimak setiap pembicaraan, dari pembukaan hingga acara berakhir. Bagi banyak peserta, suasana jadi serba tidak nyaman.
Penyelenggara menyebutnya sebagai praktik intimidasi yang seharusnya tak terjadi di era sekarang. Alih-alih melindungi, negara justru hadir sebagai pengawas yang penuh curiga. Efeknya berbahaya: menciptakan chilling effect, rasa takut yang membuat orang enggan bicara blak-blakan.
“Jika praktik ini dibiarkan, ia akan menciptakan preseden berbahaya,” tulis pernyataan sikap ketiga lembaga itu. Mereka khawatir ini akan menggerogoti demokrasi dan kebebasan berpikir. Bayangkan saja, ke depan setiap diskusi buku bisa dianggap wajib lapor polisi. Itu namanya mundur jauh.
Artikel Terkait
Kejagung Serahkan Rp 6,6 Triliun ke Kas Negara, Begini Cara Mengamankan Uang Sebanyak Itu
Malam Khidmat di Katedral, Ribuan Umat Padati Misa Natal
DDII Jabar Tegaskan Sikap: Imbau Umat Islam Hindari Ucapan dan Atribut Natal
Setahun Memimpin, Prabowo Tegaskan Kunci Pemerintahan Efektif Ada di Meritokrasi