Respons Anies terhadap bencana di Sumatera beberapa waktu lalu memperlihatkan masalah klasiknya: pesannya tepat, tapi simbolnya kurang pas. Kehadirannya di lokasi, seruan agar status bencana nasional ditetapkan, dan dokumentasi visual yang reflektif, semuanya logis secara moral dan administratif.
Tapi publik nggak selalu baca politik dengan logika. Mereka baca simbol dan timing.
Video Anies terasa seperti film dokumenter yang tenang dan terkonsep. Namun di tengah duka dan krisis, publik mungkin lebih ingin melihat spontanitas, kehadiran yang “kasar”, dan emosi yang tidak terlalu dikemas rapi. Di sinilah perbandingan dengan figur seperti Dedi Mulyadi jadi kontras dan, jujur saja, merugikan bagi Anies.
Lebih runyam lagi, kabar soal Ormas Gerakan Rakyat yang digadang jadi kendaraan politiknya, yang muncul di tengah momentum bencana, memperkuat kesan bahwa Anies selalu selangkah terlalu cepat dalam kalkulasi politik tapi selangkah terlambat dalam membaca suasana hati publik. Ini bukan kesalahan moral, tapi lebih ke kesalahan ritme.
Paradoks di Era Politik Instan
Anies pada dasarnya adalah politisi rasional di era politik instan. Dia memperlakukan politik sebagai proses jangka panjang yang penuh makna. Sementara publik mengonsumsi politik seperti konten media sosial: cepat, emosional, dan mudah terlupakan. Di ekosistem seperti ini, politisi yang terlalu hati-hati malah terlihat kaku; yang terlalu konseptual terasa jauh.
Paradoksnya, kualitas yang membuatnya dihormati dalam diskusi intelektual justru itu pula yang membatasi daya jelajah elektoralnya. Dia jarang “turun level”, enggan menyederhanakan diri, dan konsisten menjaga citra moral. Yang kadang justru dibaca sebagai jarak.
Lalu, apakah masih ada jalan?
Menjawab apakah Anies bisa jadi presiden bukan soal iya atau tidak, tapi lebih pada konteks. Dalam situasi politik normal yang stabil dan pragmatis, jalur kemenangannya sangat sempit. Dia akan kalah dari figur yang lebih mudah dibayangkan, lebih sederhana simbolnya, dan lebih cair secara emosional.
Tapi politik jarang benar-benar normal. Dalam situasi krisis legitimasi, krisis demokrasi, atau kejenuhan ekstrem terhadap populisme yang dangkal, figur seperti Anies justru bisa menemukan momentumnya. Sejarah politik kita menunjukkan, perubahan besar sering datang dari arah yang sebelumnya dianggap “nggak cocok”. Masalahnya, momentum semacam itu nggak bisa direkayasa. Ia datang, atau tidak datang sama sekali.
Bukan Soal Layak atau Tidak
Pada ujungnya, persoalan Anies Baswedan bukanlah soal kelayakan atau kapasitas. Ini soal kecocokan antara karakter personal dengan struktur emosi politik publik. Dalam demokrasi elektoral, kebenaran dan kualitas tidak selalu menemukan jalannya sendiri ke kekuasaan.
Anies mungkin politisi yang tepat untuk diskursus yang lebih matang. Tapi Indonesia hari ini masih memilih politik yang bisa dirasakan dulu, baru dipikirkan. Selama jarak itu belum terjembatani, Anies akan tetap jadi figur yang dikagumi, diperbincangkan, dihormati tapi sulit dibayangkan duduk di kursi presiden.
Tapi kita lihat saja nanti. Politik selalu punya kejutan. Masih ada nama-nama lain yang bisa muncul, bahkan jadi kuda hitam. Sosok seperti Muzakir Manaf, misalnya, bisa saja suatu saat mengubah peta. Karena dalam politik Indonesia, imajinasi seringkali lebih menentukan ketimbang argumen. Bukan begitu?
Aendra MEDITA, Jurnalis dan Analis di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) & Jala Bhumi Kultura (JBK)
Artikel Terkait
JATTI Resmi Dilantik, Fokuskan Empat Bidang Strategis
Densus 88 Gelar Operasi Malam di Garut, Amankan Pelajar Terduga Simpatisan Neo-Nazi
Belatung di Piring, Rakyat Disuruh Bersyukur?
Dua Kementerian Sepakat Siapkan Lulusan Siap Ekspor