Tahun 622 Masehi. Saat Nabi Muhammad Saw tiba di Madinah, beliau datang bukan dengan pedang terhunus untuk menaklukkan. Justru, yang dibawa adalah visi untuk mempersatukan. Lewat Piagam Madinah yang legendaris itu, beliau merajut sebuah konsensus politik yang melibatkan umat Muslim, komunitas Yahudi, dan berbagai suku Arab. Intinya sederhana: setiap kelompok dapat hidup dengan aman, bebas menjalankan keyakinannya, punya hak sosial yang jelas, dan punya kewajiban bersama untuk membela kota dari ancaman luar.
Namun begitu, sejarah tak selalu berjalan mulus. Perjanjian mulia itu pada akhirnya dikhianati. Pemicunya? Kemenangan kaum Muslim di Perang Badar. Kemenangan itu ternyata memicu kecemasan di kalangan elite Yahudi. Kekuatan baru ini dianggap mengancam hegemoni ekonomi dan politik yang selama mereka pegang. Dari sinilah benih konflik mulai tumbuh.
Benturan pertama terjadi dengan Bani Qaynuqa’ di tahun kedua Hijriah. Mereka ini suku Yahudi yang hidup di jantung Madinah, terkenal mahir dalam urusan besi dan senjata. Suasana memanas setelah seorang perempuan Muslim dilecehkan di pasar mereka. Bentrokan fisik pun pecah.
Yang memperkeruh keadaan, Bani Qaynuqa’ menolak bertanggung jawab. Bahkan, mereka menantang Rasulullah secara terbuka. Sikap ini jelas melanggar Piagam Madinah. Nabi pun tak punya pilihan lain kecuali mengepung permukiman mereka. Pengepungan berlangsung sekitar dua minggu. Tanpa pertumpahan darah besar, mereka akhirnya menyerah.
Lalu apa keputusan Nabi? Bukan eksekusi massal. Bukan. Keputusan beliau adalah pengusiran. Mereka harus meninggalkan Madinah. Pesannya tegas: negara kota ini tidak akan mentolerir pengkhianatan dan ancaman terhadap keamanan bersama, siapapun pelakunya.
Konflik berikutnya melibatkan Bani Nadhir, suku Yahudi dengan pengaruh politik yang lebih kuat. Di tahun keempat Hijriah, Rasulullah mendatangi mereka untuk membicarakan soal diyat atau denda darah. Rupanya, di balik jamuan yang tampak santun itu, terselip rencana jahat untuk membunuh Nabi.
Rencana itu terbongkar. Reaksi Nabi cepat: perintah untuk segera hengkang dari Madinah. Bani Nadhir mencoba bertahan di balik benteng-benteng kokoh mereka. Tapi pengepungan yang singkat akhirnya memaksa mereka angkat kaki, diusir ke daerah Khaybar dan Syam.
Menariknya, sekali lagi tidak ada pembantaian. Tapi pengusiran ini justru jadi bumerang. Dari Khaybar, Bani Nadhir aktif menghasut suku-suku Arab agar bersatu menghancurkan Madinah.
Puncak drama terjadi pada tahun kelima Hijriah, saat Madinah nyaris hancur dalam Perang Khandaq. Kota itu dikepung dari luar oleh koalisi besar Quraisy. Dari dalam, bahaya mengintai: Bani Quraizhah, yang terikat perjanjian pertahanan, justru membelot.
Bagi sebuah negara kota kecil seperti Madinah, pengkhianatan di tengah perang adalah ancaman yang bisa memusnahkan. Setelah pasukan koalisi mundur, Rasulullah segera mengalihkan perhatian ke Bani Quraizhah. Setelah dikepung dan menyerah, mereka meminta agar hukumannya diserahkan kepada Sa‘d bin Mu‘adz, pemimpin suku Aus yang dulu sekutu mereka.
Keputusan Sa‘d ternyata keras. Sesuai hukum perang saat itu, pria dewasa yang terlibat pengkhianatan dihukum mati. Perempuan dan anak-anak diselamatkan. Banyak catatan sejarah menegaskan, vonis ini bukan keinginan pribadi Nabi, melainkan hasil musyawarah yang justru diminta oleh Bani Quraizhah sendiri.
Ekses konflik berlanjut hingga Perang Khaibar di tahun ketujuh Hijriah. Khaibar adalah simbol kekuatan: benteng ekonomi dan militer Yahudi sekaligus sarang konspirasi. Nabi memimpin langsung ekspedisi ini.
Setelah pertempuran sengit dan jatuhnya benteng-benteng utama, Khaibar takluk. Tapi keputusan Nabi kali ini lagi-lagi mengejutkan. Penduduk Yahudi tidak diusir. Mereka diizinkan tetap tinggal, mengelola tanah dengan sistem bagi hasil. Bagi banyak pengamat, kebijakan pragmatis ini membantah klaim bahwa peperangan ini murni dilatarbelakangi sentimen agama.
Jadi, apa pelajaran dari rangkaian konflik ini? Ini bukan sekadar kisah permusuhan agama. Lebih dalam, ini adalah pelajaran tentang politik perjanjian, loyalitas, dan keamanan sebuah negara. Sejarah itu mengajarkan bahwa perdamaian hanya bisa bertahan selama kesepakatan dihormati. Dan keadilan dalam konteks zamannya menjadi fondasi utama setiap keputusan.
Lalu, Bagaimana dengan Palestina-Israel Sekarang?
Kalau kita melompat ke masa kini, garis patahan terbesar terjadi di tahun 1948. Tahun itu Israel diproklamasikan. Bagi rakyat Palestina, momen itu adalah Nakba ‘bencana’ dalam bahasa Arab. Ini bukan cuma soal perubahan peta. Ini awal dari sebuah rangkaian panjang: kekerasan, pengusiran, pendudukan yang sampai detik ini belum usai.
Artikel Terkait
Sinar Zai Zai Mencairkan Dinginnya Zhang Lu Rang di When I Fly Towards You
Dari Panggung Mancing Mania ke Tahanan KPK: Kisah Tersangka yang Pernah Sambut Gibran
Anies Baswedan dan Dilema Imajinasi Presidensial di Indonesia
Gerakan Amazing Quran Gempur Buta Aksara Al-Quran di Indonesia