Pernikahan Dini: Ketika Cinta Muda Berujung pada Beban dan Penyesalan

- Rabu, 24 Desember 2025 | 05:06 WIB
Pernikahan Dini: Ketika Cinta Muda Berujung pada Beban dan Penyesalan

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?

Memutus rantai pernikahan dini butuh langkah strategis dan kerja sama banyak pihak, terutama keluarga dan lingkungan sekitar.

Pertama, remaja harus dapat edukasi soal kesiapan berkeluarga sejak dini. Materinya bisa mulai dari pengelolaan emosi, komunikasi, hingga perencanaan rumah tangga, dan disisipkan sejak sekolah menengah. Pendidikan Kesehatan Reproduksi yang komprehensif juga wajib. Mereka perlu tahu risiko kehamilan dini, kontrasepsi, dan hak-hak kesehatan seksual mereka.

Kampanye untuk menunda pernikahan dan mengutamakan pendidikan juga harus lebih gencar. Semakin lama remaja bersekolah, peluang mereka untuk mematangkan diri sebelum berumah tangga juga semakin besar.

Di sisi lain, orang tua perlu membuka ruang dialog. Jangan jadikan pernikahan sebagai solusi panik. Bekali anak dengan life skills atau keterampilan hidup seperti literasi keuangan dan kemampuan mengambil keputusan yang berguna untuk masa depannya.

Remaja juga butuh tempat aman untuk bertanya dan curhat tanpa dihakimi. Untuk itu, layanan konseling di sekolah dan puskesmas harus diperkuat. Program seperti PIK-R (Pusat Informasi dan Konseling Remaja) atau kelas pranikah untuk remaja bisa dihidupkan kembali sebagai garda terdepan pencegahan.

Berikan Mereka Waktu untuk Tumbuh

Pada akhirnya, kita sering lupa. Pernikahan itu bukan cuma upacara atau sekadar solusi instan atas kecemasan orang tua. Ini adalah perjalanan panjang yang butuh fondasi kokoh: kesiapan mental, kematangan emosi, stabilitas ekonomi, dan pemahaman kesehatan reproduksi. Tanpa itu semua, remaja seperti berjalan dengan bekal kosong. Risiko gagalnya sangat besar.

Menikahkan remaja sebelum waktunya sama saja merampas fase penting perkembangan diri mereka. Fase di mana mereka seharusnya belajar memahami emosi, mengasah kemandirian, dan mengembangkan mimpi. Kalau fase ini dipotong paksa, dampaknya akan dirasakan oleh si remaja, anak yang mungkin lahir, dan bahkan keluarga besarnya.

Isu kesiapan berkeluarga ini sudah bukan wacana lagi, tapi sebuah urgensi. Ini bukan cuma soal menunda pernikahan, tapi memastikan remaja punya kemampuan dasar untuk menjalani rumah tangga dengan sehat. Tanpa kesiapan itu, pernikahan dini hanya akan melahirkan lingkaran masalah baru: konflik, kekerasan, hingga perceraian di usia yang sangat belia.

Sudah waktunya kita semua orang tua, tokoh masyarakat, sekolah, hingga lembaga agama berhenti menormalisasi pernikahan dini. Tugas kita adalah menciptakan lingkungan yang memberi kesempatan pada remaja untuk tumbuh, belajar, dan memahami diri mereka sendiri, sebelum akhirnya memikul tanggung jawab besar sebagai pasangan atau orang tua.

Intinya sederhana: remaja butuh waktu untuk tumbuh. Dan kita wajib memastikan mereka mendapat kesempatan itu.


Halaman:

Komentar