Memang, belum ada bukti konkret bahwa Jokowi punya ‘uang unlimited’ apalagi sampai triliunan rupiah. Tapi politik itu bukan cuma soal bukti hukum yang hitam di atas putih. Ini juga soal persepsi, pola yang konsisten, dan nalar publik. Ketika kemewahan sebuah partai tidak sebanding dengan kekuatan riilnya, dan ketika mantan presiden masih aktif ‘mengurus’ partai anaknya, ya wajar saja kecurigaan itu tumbuh. Ini bukan fitnah, tapi pertanyaan yang logis.
Masalah utamanya sebenarnya bukan cuma pada Jokowi, Kaesang, atau PSI. Akar persoalannya lebih dalam: pendanaan partai politik kita sama sekali tidak transparan. Selama publik tidak diberi tahu secara terbuka siapa donaturnya, kemana uang mengalir, dan untuk apa digunakan, spekulasi akan tetap hidup subur.
Dalam demokrasi yang sehat, seharusnya ada jarak antara kekuasaan dan keluarga. Kekayaan politik harus bisa diaudit, tidak cuma secara legal formal tapi juga secara moral. Kalau tidak, yang terjadi bukan regenerasi, melainkan normalisasi dinasti dan konflik kepentingan yang makin menjadi-jadi.
Isu bunker, uang triliunan, dan kemewahan PSI mungkin belum terbukti di pengadilan. Tapi semua itu cuma gejala. Gejala dari sebuah persoalan besar: kekuasaan yang rupanya enggan dilepaskan, dan sistem yang gagal memberikan penjelasan yang jujur pada publik.
Dan selama pertanyaan-pertanyaan itu dibiarkan menggantung tanpa jawaban yang transparan, publik akan terus penasaran. Kalau bukan dari ‘uang unlimited’, lalu dari mana dana untuk segala kemewahan itu benar-benar datang?
Artikel Terkait
KH Maruf Amin Mundur Ganda: Tinggalkan Kursi Dewan Syuro PKB Usai Lepas Jabatan di MUI
PHK 2025 Tembus 79 Ribu, Menteri Purbaya Soroti Warisan Ekonomi yang Tak Bagus
Serah Terima Jabatan Menpora Malaysia Berlangsung di Tengah Kemeriahan SEA Games Bangkok
BPSDM Kalbar Siapkan Kawah Candradimuka Digital untuk ASN