Kalau negara belum bisa menyediakan hunian layak atau bahan bangunan dengan cepat, larangan memanfaatkan sumber daya yang sudah ada terasa seperti ketidakadilan yang disahkan.
Mari kita ingat konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 jelas menyebut, bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Nah, dalam konteks bencana ini, kayu gelondongan itu jelas bukan milik oligarki. Negara juga tak mengelolanya. Sementara yang paling terdampak dan membutuhkan adalah rakyat korban bencana.
Dengan demikian, memberi hak pada korban untuk memanfaatkan kayu itu justru sejalan dengan semangat konstitusi. Bukan melanggar.
Sudah waktunya regulasi kebencanaan direkonstruksi. Kayu gelondongan pascabencana harus ditetapkan sebagai sumber daya darurat untuk rakyat. Bisa untuk membangun pondok darurat, memperbaiki fasilitas umum, atau sekadar membuat dapur darurat.
Tentu perlu ada pengawasan. Tapi pengawasan yang berbasis komunitas, gotong royong, bukan pendekatan yang langsung menebar ancaman dan kriminalisasi.
Pada akhirnya, bencana menguji lebih dari sekadar ketahanan fisik. Ia menguji keadilan dan nurani kolektif kita. Ketika rakyat dilarang memungut kayu yang merobohkan rumah mereka sendiri, yang retak bukan hanya tembok dan tiang. Rasa keadilan itu juga ikut retak.
Jadi, kayu gelondongan itu siapa punya? Bukan milik oligarki. Bukan pula harta negara yang tak tersentuh. Dalam keadaan darurat seperti ini, ia adalah milik rakyat alat bagi korban untuk bangkit dan bertahan hidup kembali.
Artikel Terkait
Delapan Perusahaan di Sumut Masih Menanti Vonis Pidana Usai Bencana
Ancaman Bom Melalui Email Gegerkan Sepuluh SMA di Depok
Tiga Eks Dirut Bank DKI Diadili Atas Dugaan Kredit Fiktif Sritex Rp150 Miliar
Palembang Gelontorkan Rp 12,7 Miliar untuk Atlet Berprestasi