Hitungannya begini: dengan potensi laba per dapur sekitar 13,3 persen atau Rp2 ribu dari pagu Rp15 ribu per porsi, maka ada sekitar Rp1 triliun laba yang mengalir. "Tahu siapa yang punya SPPG? Ya kroni pemerintah," tegas Nailul.
Masalah lain adalah rencana BGN merapel makanan menjadi paket kemasan. Isinya? Biskuit, jajan ringan, susu kotak, roti. Alih-alih menggerakkan ekonomi mikro, kebutuhan ini justru kembali mengalir ke konglomerat produsen makanan kemasan.
Uang triliunan rupiah itu, kata Nailul, akhirnya lebih banyak masuk ke pabrikan besar. Bukan ke pedagang sayur di pasar atau petani di daerah.
Ia menyayangkan jika program yang seharusnya menyehatkan anak-anak ini malah jadi alat memperkaya segelintir orang. Konglomerat yang kekayaannya bisa seribu kali lipat gaji pekerja UMR.
Di media sosial, kritik juga bermunculan. Seperti cuitan satu akun yang menyoroti potensi pemborosan.
Artikel Terkait
DPR Siapkan Payung Hukum untuk Jemaah Haji Korban Bencana
Tifa dan Tarian Kamoro Sambut Dandim Baru di Mimika
Rakit Pelepah Pisang dan Perjuangan 24 Jam Evakuasi Ibu Hamil di Tengah Banjir Bandang Aceh
Bupati Sintang Rayakan Natal di Balik Jeruji, Berbagi Harapan dengan Warga Binaan