Ironi Dosen: Gelar Bergengsi, Hidup dalam Ketidakpastian

- Selasa, 23 Desember 2025 | 10:06 WIB
Ironi Dosen: Gelar Bergengsi, Hidup dalam Ketidakpastian

Tri Dharma yang Berubah Beban

Tri Dharma Perguruan Tinggi sejatinya adalah fondasi. Tapi dalam tekanan ekonomi, ia bisa berubah wujud menjadi beban administratif belaka. Mengajar jadi rutinitas, penelitian sekadar untuk memenuhi kewajiban, pengabdian masyarakat kehilangan roh transformasinya.

Belum lagi sistem penilaian kinerja yang kerap hanya mengagungkan angka. Jumlah publikasi, sitasi, indeks. Semua serba kuantitatif, sering mengabaikan kondisi riil yang dihadapi dosen sehari-hari. Institusi seolah menuntut produktivitas tinggi tanpa mau memastikan prasyarat dasarnya terpenuhi dulu.

Masalah ini makin runyam dengan kecenderungan komersialisasi pendidikan tinggi. Kampus dipaksa beroperasi dengan logika pasar, sementara peran negara dalam pendanaan makin berkurang. Dalam logika bisnis seperti ini, dosen sering kali cuma dilihat sebagai pos biaya yang harus ditekan, bukan sebagai subjek utama pencerdasan bangsa.

Padahal, amanat konstitusi jelas. Pasal 31 UUD 1945 menegaskan tanggung jawab negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanat ini harusnya diterjemahkan dalam kebijakan afirmatif yang nyata untuk kesejahteraan dosen, bukan cuma jadi jargon dalam pidato atau target peringkat universitas dunia.

Lalu, apa yang harus dilakukan?

Pertama, negara perlu berani menetapkan standar penghasilan minimum nasional untuk dosen, terutama di PTS. Kedua, pengawasan implementasi UU Guru dan Dosen harus diperketat. Jangan sampai aturan bagus hanya jadi dokumen mati.

Ketiga, orientasi kebijakan pendidikan tinggi harus diubah. Dari yang berlogika pasar, beralih ke logika keadilan sosial. Keempat, perlakukan dosen sebagai profesional seutuhnya. Mereka punya hak ketenagakerjaan yang jelas, bukan sekadar pengabdi yang diharapkan berkorban tanpa batas.

Pada akhirnya, kesejahteraan dosen bukanlah sebuah hak istimewa. Itu adalah hak yang dijamin undang-undang. Jika negara abai, yang terancam bukan cuma martabat para pendidik, tapi masa depan ilmu pengetahuan dan kualitas generasi penerus bangsa. Pendidikan tinggi tak akan pernah benar-benar maju jika pilar-pilarnya hidup dalam ketidakpastian. Pilihannya sekarang ada di tangan kita: menjadikan dosen sebagai tiang peradaban, atau membiarkan mereka sekadar jadi angka dalam statistik.


Halaman:

Komentar