Namun begitu, batas itu sekarang jadi kabur. Kritik yang dilontarkan berdasarkan syariat gampang dicap intoleran. Sementara, normalisasi perilaku yang menyimpang justru dipuji sebagai bentuk kemajuan. Padahal, dalam Islam, kebenaran tidak diukur dari popularitas. Sesuatu bisa saja ramai diperbincangkan, viral di mana-mana, tapi tetap saja salah secara moral.
Maqāṣid syarī‘ah sebenarnya memberi kerangka yang jernih. Tujuan hukum Islam itu sederhana: menjaga lima hal pokok manusia. Agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kalau sebuah budaya ternyata merusak salah satu dari lima hal ini, ya di situlah toleransi harus berhenti.
Peran ulama di sini krusial. Mereka menjaga garis pemisah itu. Sayangnya, ketegasan mereka sering disalahpahami sebagai sikap kolot dan anti-perubahan. Padahal, tugas ulama bukanlah sekadar mengikuti arus. Tugas mereka adalah menjaga kompas. Mereka tidak menolak perubahan, hanya menolak perubahan yang membawa kerusakan.
Media massa juga punya tanggung jawab besar. Menghadirkan perspektif syariat dalam diskusi publik bukan berarti memaksakan agama. Ini lebih tentang memberi ruang pada nilai-nilai yang hidup dan diyakini oleh jutaan orang. Diskusi yang sehat justru lahir dari keberagaman sudut pandang, bukan dari penyeragaman opini.
Jadi, pertanyaan mendasarnya bukan lagi "apakah ini bagian dari budaya?". Tapi, "apakah ini membawa maslahat atau justru kerusakan?". Islam mengajarkan keseimbangan. Terbuka pada realitas, tapi teguh memegang prinsip. Toleran dalam pergaulan, konsisten dalam keyakinan.
Di sanalah batas toleransi dalam Islam berdiri tegak. Bukan pada tekanan budaya yang terus berubah, tapi pada nilai-nilai yang menjaga martabat manusia agar tetap menjadi manusia.
Artikel Terkait
Kata Berisik Dewi Perssik untuk Korban Aceh Tuai Badai Kritik
When I Fly Towards You: Kisah Cinta Sekolah yang Hangatkan TikTok
Kalis Mardiasih Soroti Dapur Militer dan Partai, Kantin Sekolah Malah Terabaikan
Kalis Mardiasih Soroti Dapur TNI-Polri, Lantas Mana Kantin Sehat untuk Anak Sekolah?