Derita Tak Kasat Mata: Ketika Gosip Perselingkuhan Menyelinap ke Dalam Pikiran

- Senin, 22 Desember 2025 | 19:00 WIB
Derita Tak Kasat Mata: Ketika Gosip Perselingkuhan Menyelinap ke Dalam Pikiran

Dampaknya tentu lebih berat bagi mereka yang menyaksikan langsung tanda-tanda perselingkuhan, entah lewat perubahan perilaku pasangan atau pengalaman pahit sehari-hari. Ambil contoh anak yang menjadi saksi perselingkuhan orang tuanya. Trauma itu bisa membentuk cara mereka memandang orang sekitar dan menjalin hubungan di masa depan.

Pramudito dkk. (2021) menyebut, korban perselingkuhan harus berjuang membangun kembali kepercayaan yang hancur. Bahkan, yang mengkhawatirkan, trauma ini bisa berbalik. Yumbula dkk. (2010) mencatat, korban berpotensi menjadi pelaku di kemudian hari.

Lalu, bagaimana dengan kita yang cuma melihat dari layar? Ternyata, derasnya pemberitaan kasus perselingkuhan juga membentuk pandangan baru. Banyak yang jadi cemas berlebihan terhadap hubungan mereka sendiri, meski sebenarnya baik-baik saja (Syah dkk., 2025). Perasaan ikut merasakan penderitaan korban jadi hal yang umum.

Ketakutan untuk menjalin komitmen serius seperti pernikahan pun muncul. Ada yang mulai curiga tanpa alasan jelas, atau bahkan menganggap ikatan pernikahan sudah tidak aman lagi. Penelitian Anantya & Abdullah (2024) memperkuat hal ini: sebagian individu memutuskan untuk tidak menikah karena merasa hubungan di zaman sekarang terlalu rentan dan penuh risiko.

Pendekatan dalam Menangani Trauma Perselingkuhan

Lantas, apa yang bisa dilakukan? Trauma mungkin tak bisa sepenuhnya hilang, tapi setidaknya bisa ditangani agar individu bisa kembali pulih. Korban biasanya mengalami gejala trauma yang, jika dibiarkan, berisiko berkembang jadi gangguan emosional jangka panjang (Ridwan dkk., 2021).

Konseling dengan psikolog atau terapis bisa jadi langkah awal yang baik. Ruang aman ini membantu korban mengekspresikan emosi negatif dan memahami pengalaman traumatisnya.

Selain bantuan profesional, dukungan sosial dari orang terdekat dan komunikasi yang sehat adalah faktor pendukung yang tak kalah penting. Keterbukaan dinilai bisa mempercepat proses pemulihan diri (Harahap & Lestari, 2018).

Dengan melihat berbagai dampak psikologis ini, kita jadi paham betapa rapuhnya kepercayaan ketika dihancurkan. Membangun komunikasi dan rasa aman dalam hubungan adalah pondasi yang tak boleh diabaikan. Pada akhirnya, menjaga kesehatan mental bukanlah sebuah kemewahan, melainkan bentuk cinta yang paling mendasar kepada diri sendiri.


Halaman:

Komentar