Bayangkan sebuah kawasan di mana negara-negara tetangga tidak saling menganggap sebagai ancaman militer. Itulah gambaran sederhana dari kawasan Nordik Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia. Mereka bukan sekadar sekumpulan negara yang bertetangga baik. Menurut para ahli, mereka adalah contoh nyata dari apa yang disebut security community atau komunitas keamanan.
Konsep ini sendiri bukan hal baru. Karl W. Deutsch sudah membicarakannya sejak 1957. Intinya, sekelompok negara bisa melampaui persaingan tradisional menuju hubungan yang dibangun di atas kepercayaan. Nah, puluhan tahun kemudian, Emanuel Adler dan Michael Barnett (1998) menyempurnakan gagasan ini lewat lensa konstruktivisme.
Bagi mereka, regionalisme yang kuat bukan cuma soal integrasi ekonomi atau pakta militer belaka. Lebih dari itu, ini tentang identitas bersama, norma-norma yang dipegang teguh, dan lembaga regional yang membentuk perilaku anggotanya.
Di Nordik, identitas bersama itu berakar sangat dalam. Warisan politik, sosial, dan ekonominya punya banyak kesamaan. Semuanya menganut demokrasi parlementer yang stabil, punya sistem kesejahteraan sosial yang mumpuni, budaya egaliter, dan yang tak kalah penting: tingkat kepercayaan sosial yang luar biasa tinggi.
Nah, dari sanalah pilar utamanya terbentuk. Ada rasa kebersamaan yang mengikat, ditambah norma kolektif yang secara tegas menolak perang antar mereka. Nilai-nilai seperti demokrasi, keadilan sosial, dan keterbukaan bukan sekadar wacana. Itu memperkuat hubungan, sekaligus menjadi media untuk solidaritas dan mengelola risiko keamanan bersama.
Landasan semacam ini memberi ketahanan saat ketegangan global muncul. Dan kepercayaan sosial yang tinggi itu menambah dimensi keamanan yang lebih dalam, jauh melampaui sekadar hitung-hitungan kekuatan militer.
Mengapa kepercayaan begitu krusial? Karena ketika masyarakat percaya satu sama lain dan pada institusi publik, konflik internal bisa ditekan. Koherensi sosial meningkat, stabilitas domestik menguat, dan pada akhirnya semua ini memperkuat keamanan kawasan secara struktural. Ancaman pun bisa dikelola dengan cara-cara non-militer yang lebih efektif, lewat kesiapsiagaan masyarakat, respons kolektif terhadap krisis, atau kerja sama keamanan siber.
Di sisi lain, tentu ada peran institusi. Ambil contoh Nordic Defence Cooperation (NORDEFCO). Lembaga ini berperan baik dalam mengoordinasikan aspek politik, sosial, ekonomi, dan pertahanan tanpa harus mengganggu prinsip dasar non-konfrontasi.
Lalu ada Nordic Council, badan antarparlemen yang berdiri sejak 1952. Wadah ini memfasilitasi interaksi legislatif dan dialog politik, yang lambat laun menjadi fondasi bagi pengembangan nilai dan norma bersama. Institusionalisasi semacam inilah yang membantu menginternalisasi nilai-nilai tadi ke dalam kebijakan yang nyata.
Namun begitu, komunitas yang tampak stabil ini bukan berarti tak tergoyahkan. Pandemi Covid-19 adalah ujian nyata. Saat itu, proses securitization terjadi di mana isu kesehatan diframing sebagai ancaman keamanan yang butuh tindakan luar biasa.
Nasionalisme dan proteksionisme sempat mengemuka, sedikit menggeser semangat regionalisme. Peristiwa ini menunjukkan bahwa komunitas keamanan bukan entitas monolitik. Ia rentan terhadap tekanan sosial-politik dari ancaman yang tak terduga.
Artikel Terkait
Paket Bergizi Tetap Mengalir Meski Siswa Bandar Lampung Libur Sekolah
Pramono Anung Larang Kembang Api Resmi di Jakarta Menyambut Tahun Baru
KPK Ungkap Aliran Dana Kuota Haji, Kerugian Negara Tembus Rp 1 Triliun
Gawai hingga Live Streaming: Pelanggaran TKA 2025 Libatkan Peserta hingga Pengawas