Beberapa benda terlihat begitu biasa saja. Karung beras, misalnya. Atau sebatang cerutu. Tusuk sate bekas makan pun begitu. Kita lihat setiap hari, tanpa pikir panjang. Tapi coba perhatikan, dalam situasi tertentu benda-benda tiba-tiba punya nyawa. Ia berubah. Dari sekadar benda mati jadi sebuah tanda. Dan tanda yah, kita semua tahu bicaranya kerap lebih blak-blakan ketimbang pidato resmi.
Ambil contoh karung beras. Sudah lama jadi bahasa visual kekuasaan di sini. Saat negara kesulitan menjelaskan kebijakan yang ruwet, ia mengulurkan beras. Beras dianggap jawaban paling pas untuk persoalan kemiskinan yang kompleks. Ia mengisi perut untuk sementara dan menciptakan kesan bahwa masalah sudah ditangani. Logikanya sederhana: lapar itu soal perut kosong, bukan soal ketimpangan yang sistemik.
Kita jadi sering menyaksikan adegan yang itu-itu lagi. Karung beras diangkut, dibagi-bagikan, lalu difoto. Senyum mengembang dari pemberi dan penerima. Kamera mengabadikannya dengan keyakinan penuh, seolah di dalam karung itu tersimpan bukan cuma gabah, tapi juga keadilan dan janji kesejahteraan.
Padahal, mari kita jujur, beras ya tetap beras. Ia tak akan pernah bisa menjawab pertanyaan mendasar: mengapa kemiskinan itu bisa diwariskan turun-temurun?
Lalu, bagaimana dengan cerutu? Benda ini kecil, tapi sarat makna. Ia tak pernah netral. Cerutu selalu membawa serta aroma kelas dan privilege. Ia hadir di ruang-ruang yang longgar, menandai waktu senggang dan jarak yang aman dari hiruk-pikuk kesulitan hidup. Mengisap cerutu seperti menyatakan bahwa segalanya baik-baik saja, tak ada yang perlu dikejar.
Masalahnya, cerutu jadi bermasalah saat muncul di tempat yang salah. Di tengah lokasi bencana, misalnya. Ia menjadi terlalu jujur. Tanpa perlu kata-kata, cerutu itu menyampaikan pesan yang mungkin tak disadari pemegangnya: bahwa penderitaan orang lain adalah sesuatu untuk diamati dari jarak aman, bukan untuk dirasakan bersama. Bahwa musibah adalah item dalam agenda kerja, bukan sebuah luka kolektif.
Di sinilah ia berubah. Dari barang pribadi jadi simbol publik. Dan sekali jadi simbol publik, niat baik si pemilik tak lagi berarti. Yang berbicara adalah tafsir orang banyak.
Nah, sekarang kita sampai pada sate. Makanan rakyat yang merakyat ini, hangat dan beraroma bara. Tak ada kesan elit. Justru karena itulah, kehadirannya bisa terasa ganjil dalam situasi tertentu. Sate yang disantap di area bencana bukan lagi sekadar makanan. Ia berubah menjadi sebuah pertunjukan.
Artikel Terkait
Tito Karnavian Ingatkan Bupati Tapteng: Data Korban Bencana Harus Akurat dan Terbaru
Lampu Tempel dan Pembungkaman: Ketika Reset Indonesia Dihalangi di Pasar Desa
Mensos Salurkan Bantuan Rp 433 Juta untuk Disabilitas Korban Banjir Sibolga
Mimpi Pernikahan Nyaris Runtuh Diselamatkan oleh Kebaikan Orang Tak Dikenal