Kesombongan Semu Atas Nama Kedaulatan
Penulis: R Aditiya Giwangkara, S.Ip
Aktivis Sosial dan Politik
Menghadapi bencana besar di Sumatra, klaim pemerintah terdengar final: “pemerintah masih mampu menangani.” Pernyataan itu bukan untuk menjelaskan keadaan korban. Ia justru berfungsi menutup perdebatan. Sebuah stempel politik, yang mendeklarasikan situasi terkendali dan bantuan cukup. Ruang untuk mengkritik pun langsung dipersempit. Di sini, bencana tak lagi dilihat sebagai krisis kemanusiaan, melainkan sebuah ujian reputasi negara.
Konsekuensinya? Di lapangan, korban cuma bisa menunggu. Logistik molor. Air bersih susah didapat. Proses evakuasi berjalan lambat, jenazah tertahan berhari-hari. Semua itu seolah bisa ditoleransi, asalkan narasi “negara mampu” tetap berdiri tegak. Penderitaan tidak disangkal, hanya dibiarkan. Selama jeritan itu tak cukup keras merusak citra di ruang publik. Inilah momen ketika kedaulatan berubah fungsi, dari alat perlindungan menjadi alibi politik.
Sejarah kebencanaan kita menunjukkan pola ini dengan konsisten. Ambil contoh Aceh 2004. Itu jadi pengecualian, bukan karena negara tiba-tiba jadi welas asih. Tapi karena saat itu negara benar-benar tak punya pilihan. Segalanya hancur, otoritas lumpuh, jumlah kematian mustahil ditutupi. Bantuan internasional dibuka bukan atas kebesaran hati, melainkan karena ketidakmampuan yang absolut. Ironisnya, justru dari kegagalan total itu negara dapat legitimasi moral. Sayangnya, pelajaran berharga itu tak diwarisi.
Lihat Pangandaran 2006. Ratusan nyawa melayang, tapi status bencana nasional tak pernah diberikan. Negara memilih jalan normalisasi.
Lalu Palu-Donggala 2018. Bantuan asing baru dibuka setelah bandara rusak dan komunikasi putus total. Saat narasi “kendali” akhirnya runtuh dengan sendirinya. Artinya jelas: bantuan diterima bukan saat korban paling membutuhkan, tapi saat kebohongan soal kapasitas sudah tak bisa lagi dipertahankan.
Artikel Terkait
Banjir Bandang Hantam Guci, Jembatan dan Pemandian Pancuran 13 Luluh Lantak
Batang Kayu Berbalut Lakban Picu Pengamanan Ketat Gereja di Jabar
Ekoteologi: Saat Agama Menjawab Banjir yang Tak Kunjung Usai
Dua Pejabat Inalum Ditahan, Diduga Rugikan Negara Rp133 Miliar