Dosa Ekologi dan Suara Muda: Saat Bumi Menagih Janji di Tengah Banjir Bandang

- Sabtu, 20 Desember 2025 | 16:50 WIB
Dosa Ekologi dan Suara Muda: Saat Bumi Menagih Janji di Tengah Banjir Bandang

Ruang tamu berubah menjadi kolam. Jalan desa lenyap tertimbun tanah. Dalam beberapa pekan terakhir, sirene tanggap darurat jadi pengantar tidur bagi warga Sumatra Barat, Sumatra Utara, dan Aceh. Lebih dari 400 nyawa melayang. Pemicunya? Curah hujan ekstrem dan Siklon Tropis Senyar yang menggila. Tapi ini bukan cerita baru. Sejak awal 2025, catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sudah mencatat 2.726 kejadian bencana hidrometeorologi di seluruh Indonesia. Angka yang membuat kita merinding.

Di tengah reruntuhan dan genangan air itu, ada suara lain yang muncul. Bukan suara teknokrat dengan software pasar karbon atau janji teknologi canggih. Ini suara anak-anak muda dari Sukabumi hingga Mentawai yang menolak jadi sekadar korban statistik. Mereka bicara tentang "false solutions" atau solusi palsu.

"False solutions itu cuma distraksi teknokratis," ujar Fathan Mubina (25), Geographic Information System Analyst dari Trend Asia. "Cara bagi korporasi untuk terus menghasilkan emisi dan merusak hutan, sambil pura-pura tidak lihat krisis yang sedang kita hadapi."

Bagi Fathan dan kawan-kawannya di Climate Rangers Indonesia, skema seperti carbon market, debt swap, atau Carbon Capture and Storage (CCS) itu hitung-hitungan di atas kertas yang steril. Hitungan yang tak pernah mendengar tangis petani di Demak, Jepara, atau Pekalongan yang sawahnya hilang diterjang intrusi air laut. Hitungan yang tak menghentikan relokasi paksa ribuan keluarga yang rumahnya perlahan dikikis ombak.

Sinyal Alam yang Tak Terbantahkan

Keprihatinan mereka punya dasar yang kuat. Tahun 2025 diproyeksikan jadi tahun terpanas kedua sepanjang sejarah. Suhu global sudah naik 1.42°C dari masa pra-industri, nyaris sentuh ambang batas kritis 1.5°C. Di Indonesia, dampaknya terasa lebih brutal dan langsung.

Badai tropis yang dulu langka, sekarang makin sering dan mendekati daratan. Peneliti BRIN, Erma Yulihastin, memaparkan fakta yang menohok. Siklon Senyar yang baru saja melanda Sumatra kekuatannya cuma sepertiga dari Siklon Seroja di 2021. Tapi korban jiwanya justru jauh lebih banyak, mencapai 1.059 orang.

"Artinya, ada faktor lain di luar cuaca yang berkontribusi besar," tegas Erma.

Faktor itu adalah kerusakan lingkungan di daratan. Deforestasi mengubah suhu permukaan dan menarik badai semakin dekat ke pesisir. Dr. Ir. Hatma Suryatmojo, pakar hidrologi UGM, menjelaskannya dengan gamblang. Hutan itu seperti spons raksasa. Di hutan tropis alami, kanopi pohon bisa tahan 15-35% air hujan, tanahnya serap 55% lagi. Cuma 10-20% yang jadi aliran permukaan.

Nah, bayangkan jika hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) itu gundul. Fungsi hidrologisnya hilang. Air hujan ekstrem langsung meluncur deras ke hilir, menggerus tanah, mendangkalkan sungai, dan akhirnya meluap jadi banjir bandang yang mematikan.

"Ini akumulasi dosa ekologis," tandas Hatma, merujuk pada deforestasi masif yang sudah berlangsung puluhan tahun.

Dari Data ke Narasi, dari Kampus ke Kampung


Halaman:

Komentar