Akumulasi dari deforestasi dan pertambangan liar ditambah yang legal tapi bermasalah inilah yang membanjiri kita dengan bencana. Tidak hanya di Sumatera. Sebelumnya, bencana sudah jadi rutinitas tahunan, bahkan bulanan, di berbagai penjuru Indonesia. Nyawa yang hilang, rumah yang hanyut, infrastruktur yang rusak, sudah tak terhitung lagi.
Banjir dan longsor yang disusul korban jiwa di sekitar hutan seolah jadi ritual. Terjadi berulang, dari skala kecil hingga besar. Dampaknya mematikan, memiskinkan, menguras anggaran negara, dan merusak segalanya.
“Setiap bencana selalu mendatangkan empati, tapi bukan solusi,” tulisnya. Faktanya, penebangan hutan terus berjalan. Penambangan ilegal makin liar dan vulgar.
Memang, setiap musibah datang, selalu disambut ucapan duka, bantuan, dan doa. Itu tidak salah dan harus kita lakukan. Namun, semua itu bukan solusi. Tidak akan menghentikan banjir datang minggu depan, bulan depan, atau tahun depan. Bencana rutin itu akan terus menyambar, mengambil puluhan hingga ribuan nyawa. Begitulah Indonesia sekarang.
Mereka yang mati bukanlah para penebang hutan. Bukan keluarga pemilik tambang, atau saudara para menteri kehutanan, ESDM, dan lingkungan hidup. Bukan pula keluarga aparat yang cari tambahan rezeki, atau sanak famili bupati, gubernur, hingga pimpinan partai. Bukan. Mereka yang jadi korban adalah warga miskin yang hidup di pinggiran hutan dan sungai. Mereka yang sudah lama terpinggirkan oleh kebijakan, akhirnya mati pula diterjang banjir.
Sampai kapan negara membiarkan ini? Sebenarnya semua orang tahu perusahaan mana yang harus bertanggung jawab. Masyarakat juga paham institusi mana yang kongkalikong, terlibat, menjadi backing bagi perusahaan-perusahaan itu.
Ada kabar, presiden sudah mengantongi nama sejumlah perusahaan dan pejabat yang terlibat. Kita tunggu saja eksekusinya. Semoga.
Bencana banjir ini bukan ulah satu orang. Ini kerja sejumlah kelompok usaha yang berkolaborasi dengan ‘oknum’ kekuasaan dan aparat. Mustahil dikerjakan sendiri tanpa sinergi antara pemodal dan pejabat, baik di tingkat elit maupun daerah. Semua dikerjakan secara sistematis dan terstruktur.
Dan mustahil pula mereka bisa dimintai pertanggungjawaban. Kekuatan mereka terlampau besar. Punya akses kekuasaan. Bahkan, sebagian adalah bagian dari kekuasaan itu sendiri. Berkhayal jika masih ada yang berpihak bisa menuntut mereka. Itu khayalan tingkat tinggi. Kenapa? Karena hampir semua terlibat. Hampir semua kebagian setoran. Ada bagi-bagi hasil dari jarahan hutan dan tambang, apapun istilah dan sandinya. Besar kecilnya, tergantung kesepakatan dan posisi jabatan. “Tak ada makan siang yang gratis, bro!”
Di atas wilayah yang dilanda banjir di Sumatera itu, berkeliaran nama-nama perusahaan. Milik siapa, masyarakat bisa menebak. Siapa komisarisnya, itu jadi petunjuk siapa backing-nya. Cukup mudah mengetahuinya.
Jika dipikir lebih jauh, bencana akibat deforestasi ini bukan cuma monopoli Sumatera. Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua hampir seluruh wilayah Indonesia merasakannya. Apakah bencana yang makin rutin menyapa ini akan membuat negara sadar dan melakukan evaluasi nasional serius?
Anda berhak untuk pesimis. Sebab, pesimisme Anda punya alasan historis yang kuat.
Jakarta, 19 Desember 2025.
Artikel Terkait
Bantuan UEA untuk Korban Banjir Medan Ditarik Paksa Usai Tekanan Pusat
Gerakan Rakyat Desak Pemerintah: 1.068 Nyawa Bukan Angka, Tetapkan Bencana Nasional Sekarang!
KSAD Maruli Minta Media Tak Langsung Ekspos Kekurangan Penanganan Bencana
Duka dan Kecemasan di Perumahan BBS 3 Cilegon Usai Bocah Politisi Ditemukan Tewas dengan 22 Luka