Baru-baru ini, di fanpage Facebook-nya, Dr. S. Prasetyo Utomo membagikan sebuah foto. Tampak cerpen karyanya, "Penglihatan Gadis Kiyomi", yang bakal terbit di rubrik "Jeda" Solo Pos pada 6-7 Desember 2025. Ia adalah sastrawan dan akademikus UPGRIS kelahiran Yogyakarta, 1961. Seolah tak mau kalah, di platform yang sama, Budi Wahyono pensiunan guru SMKN 7 Semarang yang piawai menulis puisi dwibahasa juga mengunggah karyanya. Puisi Jawa berjudul "Saka Pemalang Tekan Pemalang" itu dimuat di majalah Panjebar Semangat edisi 6 Desember lalu.
Lalu ada Beno Siang Pamungkas. Itu nama pena Ali Subeno, penyair dan jurnalis kelahiran Banjarnegara 1968. Belum lama ini ia mengunggah dua puisinya dari tahun 1993, "Eksekusi Pohon-Pohon" dan "Catatan Merah", yang termuat dalam sebuah antologi lama.
Ketiga unggahan sederhana itu, rupanya, punya cerita yang lebih besar. Mereka adalah bukti nyata bahwa ekspresi sastra di media cetak dan digital ternyata bisa hidup berdampingan. Bahkan, bertemu dalam satu ruang yang sama: media sosial. Koran dan majalah cetak masih punya tempat. Buku tetap dianggap sebagai puncak prestasi. Sementara, dunia digital hadir sebagai lahan subur untuk bereksperimen dan membangun komunitas. Ketiganya saling melengkapi dalam ekosistem literasi yang tetap bergairah.
Sastra Buku: Akar yang Tertua
Sebelum koran dan majalah ada, sastra Nusantara sudah hidup dalam bentuk buku atau lebih tepatnya, manuskrip. Bayangkan naskah-naskah kuno di daun lontar atau kertas daluang yang kuat. Itu adalah medium pertama para pujangga. Jauh sebelum Bataviasche Nouvelles koran berbahasa Belanda pertama terbit pada 1744, atau Medan Prijaji pada 1907, tradisi tulis-menulis sudah berkembang pesat, terutama di kalangan istana dan agamawan.
Genrenya beraneka ragam. Dari hikayat seperti Hikayat Hang Tuah dan Hikayat Raja Pasai, kakawin semacam Arjuna Wiwaha gubahan Mpu Kanwa, hingga babad yang memadukan sejarah dan mitos. Babad Diponegoro, misalnya, adalah autobiografi yang didiktekan sang pangeran saat pengasingan. Karya Raden Ngabei Yasadipura I, Babad Giyanti, ditulis puluhan tahun dan menjadi sumber primer penting.
Meski hanya ada dalam satu atau beberapa salinan, manuskrip-manuskrip itu memenuhi fungsi yang sama dengan buku masa kini: menjadi wadah narasi yang utuh. Barulah setelah mesin cetak dibawa VOC, benda cetak mulai diproduksi lebih massal. Awalnya untuk keperluan administrasi dan agama, bukan sastra.
Koran-koran awal seperti Bataviasche Nouvelles pun isinya berita dan iklan, belum memuat karya kreatif. Perubahan mulai terlihat akhir abad ke-19. Karya sastra puisi, cerpen, roman bersambung mulai mengisi halaman hiburan koran dan majalah. Namun, buku tetap memegang peran sentral. Balai Poestaka, yang berdiri awal abad ke-20, menerbitkan novel-novel penting seperti Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan. Jadi, secara kronologis, sastra buku memang lebih dulu ada, mendahului kemunculannya di media massa cetak.
Sastra Koran: Puncak dan Senja
Kalau mau bicara masa kejayaan sastra koran, itu terjadi antara tahun 1970-an hingga akhir 1990-an. Tapi benihnya sudah tumbuh sejak akhir abad ke-19, saat pantun dan syair mulai menghiasi halaman koran. Namun, puncaknya benar-benar terasa ketika koran dan majalah menjadi panggung utama bagi para sastrawan, terutama untuk cerpen dan puisi.
Kala itu, hampir setiap koran punya rubrik sastra. Keberadaan rubrik ini bukan sekadar pelengkap. Ia adalah semacam gerbang legitimasi. Di baliknya ada kurator-kurator seperti H.B. Jassin atau Mochtar Loebis, yang mata dan pertimbangannya sangat diperhitungkan. Dimuat di koran besar adalah kebanggaan dan pengakuan awal bagi seorang penulis.
Artikel Terkait
Live Streamer Resbob Ditangkap, Viral Demi Saweran Berujung Bui
Bromo Terjepit: Ekonomi Menggeliat, Alam Mulai Merintih
Otoritas Tanpa Kelekatan: Ketika Kepatuhan Anak Hanya Jadi Topeng Jarak Emosional
Gatot Nurmantyo Tuding Kapolri Bangkang Konstitusi Lewat Perpol 10/2025