Sastra Tak Pernah Mati: Dari Lontar hingga Layar Ponsel

- Kamis, 18 Desember 2025 | 02:06 WIB
Sastra Tak Pernah Mati: Dari Lontar hingga Layar Ponsel

Koran, dengan jangkauannya yang luas, mendemokratisasi sastra. Karya-karya Pramoedya Ananta Toer, misalnya, sebelum menjadi novel monumental, lebih dulu muncul di Siasat dan Gelanggang. Sastra koran membawa karya keluar dari menara gading, menyatu dengan wacana publik. Ia menjadi bagian dari sarapan pagi dan pengisi waktu senggang banyak orang.

Tapi zaman berubah. Memasuki abad ke-21, gempuran digital tak terelakkan. Sirkulasi koran cetak menyusut, rubrik sastra banyak yang dipangkas. Penulis dan pembaca bermigrasi ke dunia online. Meski begitu, warisan era keemasan itu tak ternilai. Ia membuktikan bahwa jurnalisme dan kreativitas sastra bisa bersinergi dengan kuat, membentuk intelektual bangsa.

Kini, roh sastra koran masih hidup, meski wujudnya berubah. Banyak platform berita online masih mempertahankan rubrik sastra. Semangat untuk menjembatani sastra dengan khalayak luas itu tetap sama, hanya medianya yang berbeda.

Sastra Digital: Taman Bermain Baru

Dunia digital bukan sekadar memindahkan teks ke layar. Ia menciptakan lanskap sastra yang sama sekali baru. Ya, koran online seperti Kompas.id atau Republika Online masih punya rubrik cerpen dan puisi pilihan. Ada juga situs khusus seperti Bacapetra.co atau Basabasi.co yang jadi rumah baru bagi komunitas sastra.

Tapi sastra digital jauh lebih liar dan eksperimental dari itu. Ambil contoh blog sastra. Ini adalah ruang personal yang sangat bebas, seperti jurnal abad 21. Blog F. Rahardi sarat dengan esai mendalam, sementara blog Raditya Dika di awal 2000-an justru melahirkan genre komedi slice of life yang khas. Buku bestsellernya, Kambing Jantan, malah berasal dari coretan-coretan di blog itu.

Lebih jauh lagi, ada bentuk-bentuk yang benar-benar mengandalkan medium digital. Fiksi hiperteks, misalnya, yang menawarkan jalur cerita nonlinier. Pembaca memilih tautan dan menentukan alurnya sendiri. Lalu ada fiksi interaktif yang mirip game, di mana pilihan pembaca berpengaruh langsung pada akhir cerita.

Bentuk yang lebih canggih lagi adalah sastra multimodal. Di sini, teks menyatu dengan audio, video, dan animasi. Puisi kinetik dengan kata-kata yang bergerak, atau novel web dengan ilustrasi dinamis. Bahkan ada codework dan sastra generatif, di mana algoritma komputer ikut menciptakan teks, mempertanyakan ulang peran penulis manusia.

Intinya, sastra digital adalah taman bermain yang tak ada batasnya. Dari sekadar membaca, pembaca bisa menjadi partisipan aktif. Ia menawarkan pengalaman yang imersif, menantang, dan sama sekali berbeda dari membuka halaman buku atau koran. Inilah dimensi baru yang terus berkembang, membawa sastra pada petualangan yang tak terduga.

"


Halaman:

Komentar