✍🏻 SHAUN KING (Aktivis Muslim AS)
Izinkan saya bicara blak-blakan: apa yang terjadi di Pantai Bondi itu salah total. Menyerang warga sipil yang tak bersenjata dalam sebuah perayaan Hanukkah? Itu kejahatan. Titik. Tak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan penembakan terhadap kerumunan seperti itu.
Minggu lalu, tepatnya 14 Desember 2025, enam belas nyawa melayang di Pantai Bondi, Sydney. Mereka sedang merayakan Hanukkah. Adegannya kacau balau. Keluarga-keluarga berlarian menyelamatkan diri di atas pasir. Anak-anak berusaha bersembunyi. Yang membuat pilu, salah satu korban adalah seorang penyintas Holocaust. Dia tewas dalam perayaan Yahudi itu, dikelilingi anak dan cucunya. Seorang ayah dan anaknya melepaskan tembakan ke arah kerumunan. Rekaman videonya sungguh mengerikan.
Dan ini yang berat untuk diakui: sekejam apa pun serangan ini, untuk pertama kalinya dalam hidup, saya merasa otak saya tidak lagi terkejut oleh pembantaian semacam ini. Kenapa? Karena saya, seperti banyak orang, telah menyaksikan pembantaian tanpa henti selama 24 jam sehari di Gaza.
Saya ingin berbagi apa yang saya lihat dan rasakan hari ini. Dan menurut saya, dunia justru jadi lebih berbahaya pasca peristiwa Bondi ini.
Gaza Telah Melampaui Batas Kengerian
Sudah lebih dari dua tahun, Gaza menjadi siaran langsung kengerian yang belum pernah disaksikan manusia dalam skala dan frekuensi seperti ini. Ini bukan cuma soal satu video viral atau satu insiden yang ramai dibicarakan akhir pekan. Ini tentang banjir darah yang konstan, setiap hari, menampilkan hal-hal terburuk yang bisa dibayangkan.
Bayangkan: anak-anak terhimpit beton, orang dewasa terbakar hidup-hidup, bayi-bayi mati kedinginan di tenda yang kebanjiran. Seluruh keluarga lenyap oleh satu serangan. Orang-orang kelaparan di depan kamera. Kuburan massal. Mayat-mayat yang terus dikeluarkan dari reruntuhan. Semuanya terekam, terfoto, terunggah, dan tersebar.
Intinya, Gaza telah mengubah kemampuan saya untuk merasa terkejut.
Enam belas orang tewas di Bondi adalah mimpi buruk. Sungguh memilukan. Tapi sekarang, saya melihat enam belas orang tewas setiap hari di kapal-kapal yang dibom AS. Saya melihat enam belas orang tewas dalam satu serangan di kamp pengungsian Rafah. Saya melihat enam belas anak tewas di satu ruang kelas. Gaza telah mengubah angka "enam belas korban" dari berita utama yang langka menjadi pemandangan harian yang berulang.
Saya yakin saya tidak sendirian. Banyak orang yang saya ajak bicara hari ini berkata hal serupa: "Ini mengerikan, tapi reaksi saya tidak seperti dulu lagi." Bukan karena kami tidak peduli pada nyawa warga Yahudi atau Australia. Tapi karena otak kita kebanjiran paparan kekerasan tingkat tinggi yang belum pernah dialami generasi mana pun. Sistem saraf kita sedang berusaha bertahan.
Inilah bahayanya. Genosida tak cuma membunuh orang. Ia membanjiri dunia dengan begitu banyak kebrutalan, sampai-sampai orang biasa kehilangan kemampuan untuk merasakan kengerian yang seharusnya ketika tragedi baru terjadi. Kalau Anda sudah menyaksikan ribuan anak dibunuh di Gaza tanpa ada pertanggungjawaban, apa reaksi Anda saat melihat penembakan massal di tempat lain? Pikiran Anda akan bilang, "Ini mengerikan," tapi di saat bersamaan juga bergumam, "Ya, inilah dunia sekarang."
Itu tidak sehat. Tidak normal. Dan ini bukan kebetulan.
Standar Pembunuhan yang Dinormalisasi Israel Itu Mengerikan
Poin kedua ini lebih sensitif. Saya akan coba menyampaikannya sejujur mungkin.
Selama genosida ini berlangsung, Israel terus-menerus membela standar tentang siapa yang "boleh" dibunuh, dan standar itu sungguh mengerikan. Mereka bilang, kalau seseorang berfoto dengan anggota Hamas, itu target sah. Bekerja di kementerian yang punya kaitan dengan Hamas, meski di posisi yang tak berhubungan? Target sah. Menyatakan dukungan untuk serangan 7 Oktober atau Hamas secara umum? Target sah. Bukan cuma mereka, tapi juga siapa pun yang kebetulan ada di sekitar mereka saat bom jatuh.
Ini bukan teori. Ini praktik yang terjadi hari demi hari. Rumah, jalan, menara apartemen dibom berdasarkan siapa yang ada di foto, di mana seseorang bekerja, atau apa yang mereka dukung.
Preseden ini sangat berbahaya.
Karena begitu Anda mengatakan pada dunia, "Kalau kamu menandatangani bom dan merayakan kekerasan massal, kalau kamu mendukung genosida secara terbuka, kalau kamu berfoto dengan para pembunuh dan memberi restu itu saja sudah membuatmu jadi target sah," maka pintu itu terbuka lebar, dan tidak hanya untuk Gaza.
Nah, salah satu korban di Bondi adalah Rabbi Eli Schlanger, asisten rabi dari Chabad Bondi. Dia digambarkan sebagai pendeta yang berdedikasi dan dicintai. Tapi, berdasarkan unggahan yang beredar, dia juga diketahui menandatangani rudal untuk IDF, berfoto dengan tentara Israel, dan dengan lantang mendukung klaim bahwa Tepi Barat adalah milik eksklusif orang Yahudi.
Artikel Terkait
Kadri Mohamad: Dari Panggung Musik ke Panggung Kemanusiaan untuk Sumatera
Indah Permasari Ukir Sejarah, Judo Lampung Sabet Perak di SEA Games
Prabowo Perintahkan Relaksasi Aturan untuk 125 Ribu Potong Bantuan Garmen
Gianyar Terendam, Hujan Deras Ubah Jalan Jadi Aliran Deras