Suaranya terdengar lelah, penuh kepedihan. M Aidil Adhaa, lewat sebuah unggahan, menyampaikan keluhannya langsung kepada Pak Yai Najih Ibn Abdil Hameed. Penanganan bencana yang dinilainya lambat, telah memakan banyak korban. Masyarakat, katanya, kelaparan.
"Tempat saya, hingga malam ini listrik aja belum menyala," tulisnya. Situasinya jauh dari membaik.
Lalu ia menceritakan kondisi yang lebih memilukan. Rumah sang Pimpinan Pesantren mereka tertimbun tanah sedalam dua setengah meter. Dan sampai hari ini, belum ada penanganan yang berarti. Kalimat penutupnya menusuk: "Ini maksudnya harga diri, Yai?"
Pertanyaan itu seolah menggantung, menuntut jawaban. Di sisi lain, isu "harga diri" yang disebut-sebut menjadi alasan untuk tidak meminta bantuan negara lain, justru menuai kritik pedas. Rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, terjepit di antara kebanggaan dan kelambanan respons pemerintah di lapangan.
Yang ironis, di tengah situasi darurat ini, perbincangan publik malah diramaikan dengan pembahasan tentang Teddy. Seolah ada prioritas yang bergeser, ketika tangisan korban masih menggema.
Artikel Terkait
Cinta Bangsa yang Cerdas: Ketulusan sebagai Etika, Bukan Sekadar Slogan
Ijazah Jokowi Akhirnya Terbuka di Polda, Klaim Hanya di Pengadilan Ternyata Tak Berlaku
Jurnalis Siap Tempur: Pelatihan Khusus untuk Liputan di Daerah Rawan
Di Tengah Medan Terjal, Pesan Warga Aceh untuk Mualem: Kami di Sini, Pak