Prabowo dan Tongkat yang Tak Pernah Digunakan

- Minggu, 14 Desember 2025 | 06:20 WIB
Prabowo dan Tongkat yang Tak Pernah Digunakan

Di sisi lain, pernyataan tadi juga mengaburkan satu hal penting: soal kuasa. Dalam demokrasi, presiden bukan nabi. Ia pemegang mandat rakyat, pengelola anggaran negara, penentu arah pembangunan. Ia bukan Musa, tapi ia punya pilihan untuk tidak menjadi seperti Firaun, Qarun, atau Haman tiga tokoh dalam Al-Qur’an yang melambangkan kesombongan, kerakusan, dan manipulasi kekuasaan.

Firaun menolak semua peringatan alam. Qarun sibuk menumpuk harta dan menertawakan nasihat. Haman membangun menara kekuasaan di atas tanah yang rapuh. Mereka binasa bukan karena kurang mukjizat, tapi karena menutup mata dari kebenaran yang sudah terang benderang.

Nah, kebenaran hari ini bernama data. Ia ada di laporan IPCC, di peta BNPB, dalam riset LIPI, bahkan dalam jeritan warga yang terdengar di tengah malam saat banjir datang. Mengabaikan semua itu, lalu berdalih “kami tak punya tongkat”, adalah bentuk pengingkaran. Baik secara moral maupun konstitusional.

Presiden memang tak dituntut jadi nabi. Tapi ia wajib menghargai ilmu pengetahuan. Ia tidak diminta membelah laut, cukup membuka jalan bagi kebijakan yang menyelamatkan rakyat dan menjaga bumi. Ia tak perlu menurunkan hujan dari langit, cukup pastikan hutan tak ditebang sembarangan. Ia juga tak harus mengusir banjir dengan mukjizat, cukup jangan memangkas anggaran untuk pencegahan seperti yang kerap terjadi, baik di level nasional maupun daerah.

Intinya, tongkat Musa itu cuma simbol. Sains adalah alat nyata. Dan di tangan pemimpin yang punya tanggung jawab, alat itulah yang akan menyelamatkan banyak jiwa.

Editorial ini lahir bukan dari kemarahan, tapi lebih pada rasa kecewa. Yang kita tunggu sebenarnya sederhana: instruksi tegas dan tindakan cepat untuk misi penyelamatan, didukung anggaran yang memadai. Soalnya, ini level bencana nasional, bukan sekadar musibah lokal.

Dan kalau sampai warga justru lebih sigap menolong sesamanya daripada negara bergerak, jangan heran bila kepercayaan pada negara itu luntur perlahan.

(Penulis: Risman Rachman)


Halaman:

Komentar