“Kami waspadai penyakit seperti diare, tifus, hingga leptospirosis atau demam tikus yang muncul dari air banjir yang terkontaminasi,” jelasnya.
“Tak hanya itu, ancaman DBD, malaria, ISPA, dan infeksi kulit juga jadi perhatian utama. Semua perlu diantisipasi sedini mungkin.”
Meski RSKKA sendiri masih punya agenda kemanusiaan di lokasi lain tepatnya di Pulau Bonerate dan Pulau Sailus respons darurat untuk Aceh tak ditunda. Mereka mengirimkan dokter lebih dulu via jalur udara. Tujuannya agar pelayanan segera menyentuh korban banjir dan longsor di Sumatera.
“Harapannya, tim awal ini bisa memetakan kebutuhan di lapangan, melihat kondisi riil, sekaligus menangani trauma korban,” tambah Prof Hery.
“Nantinya, peran RSKKA akan lebih difokuskan pada pemulihan sistem kesehatan lokal. Kami akan terus dampingi sampai tren positif benar-benar terlihat.”
Memang, komitmen RSKKA sedang terbagi. Saat berita ini ditulis, mereka masih menjalankan Bakti Sulawesi di dua pulau terpencil. Tapi bencana di Aceh Tamiang rupanya memanggil dengan cara yang berbeda, membutuhkan respons yang cepat dan tepat sasaran.
Artikel Terkait
Kesombongan yang Membunuh: Ketika Gengsi Menutup Pintu Bantuan di Tengah Banjir
Bupati Tapteng: Longsor dan Banjir Bandang, Imbas Sawit Menggerus Bukit
Relawan PSM: Wajah Lembut di Balik Upaya Jogja Zero Gepeng
Menkominfo Desak Kolaborasi Lebih Kuat dengan BSSN untuk Hadapi Maraknya Kejahatan Siber