Ridwan Kamil di Jawa Barat juga punya gaya serupa. Entah saat banjir Garut atau pandemi, ia kerap menggalang kolaborasi. Konsep “pentahelix”-nya yang menyatukan pemerintah, warga, swasta, akademisi, dan media menjadi model yang cukup efektif untuk menangani berbagai krisis di daerahnya.
Empati: Sentuhan Manusiawi yang Tak Kalah Penting dari Data
Di tengah musibah, rakyat butuh lebih dari sekadar logistik. Mereka butuh diyakinkan bahwa pemimpinnya punya hati, bahwa ia mengerti penderitaan mereka.
Barack Obama menangis di depan publik saat membacakan nama-nama korban penembakan Sandy Hook. Air mata itu bukan tanda kelemahan. Justru itu menunjukkan kekuatan dan kemanusiaan seorang pemimpin.
Di Indonesia, kita ingat bagaimana Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendatangi Aceh pasca tsunami. Dalam kondisi yang masih sangat berbahaya, ia menyapa, memeluk, dan menunjukkan empati yang dalam. Sikap itu tak hanya menghibur, tapi juga membuka jalan bagi kerja sama pemulihan yang lebih luas.
Berpikir Jauh ke Depan, Jangan Cuma Memadamkan Api
Pemimpin sejati tidak berhenti saat keadaan darurat usai. Mereka menggunakan musibah sebagai momentum untuk evaluasi dan reformasi jangka panjang.
Lihat Jepang pasca tsunami dan krisis Fukushima 2011. Di bawah Shinzo Abe, negara itu melakukan reformasi besar-besaran: standar bangunan tahan gempa ditingkatkan, sistem peringatan dini diperbarui, tata kelola evakuasi dibenahi. Pemulihan bukan cuma membangun ulang, tapi membangun lebih baik.
Di Yogyakarta, Sri Sultan HB X melakukan hal serupa usai erupsi Merapi. Ia tak cuma menata kembali permukiman. Zonasi rawan bencana diperkuat, jalur evakuasi diperlebar, dan yang menarik, ia memasukkan kearifan lokal ke dalam sistem mitigasi. Tujuannya jelas: membuat Yogyakarta lebih tangguh menghadapi ancaman di masa datang.
Berani Mengaku Salah, Lalu Memperbaiki
Pemimpin hebat bukan manusia tanpa salah. Mereka adalah orang yang berani mengakui kesalahan dan segera memperbaikinya. Justru di krisis, kejujuran semacam ini bisa memulihkan kepercayaan.
Justin Trudeau, Perdana Menteri Kanada, pernah secara terbuka meminta maaf karena pemerintah dianggap lamban merespons kebakaran hutan. Pengakuan itu diikuti dengan perbaikan sistem bantuan yang lebih cepat.
Di tingkat lokal, sosok seperti Tri Rismaharini (Risma) juga dikenal dengan hal ini. Saat banjir besar melanda dan kritik mengalir, ia tak segan meminta maaf kepada warga. Ia jelaskan kendala teknis yang dihadapi. Empati dan tanggung jawab seperti inilah yang membuatnya tetap dihormati, meski di tengah kontroversi sekalipun.
Jadi, musibah memang ujian yang berat. Tapi dalam catatan sejarah, ujian itu pula yang membedakan pemimpin biasa dan pemimpin besar. Bukan soal jabatannya, melainkan soal keberaniannya, kecepatannya, empatinya, dan kemampuannya merangkul semua pihak.
Krisis akan selalu datang silih berganti. Pemimpin besar adalah mereka yang bisa mengubahnya menjadi batu pijakan untuk membangun bangsa yang lebih baik, bukan sekadar bahan untuk saling tuding.
Dan bagi kita semua, kisah-kisah kepemimpinan ini mestinya jadi cermin. Bahwa pada akhirnya, setiap orang punya potensi untuk memimpin minimal untuk diri sendiri, keluarga, dan lingkungan terdekat ketika badai kehidupan menerpa.
Nuim Hidayat
Artikel Terkait
Pernikahan Beda Agama di Indonesia: Saat Cinta Harus Tunduk pada Aturan
Pekan Kedua, Aceh Tamiang Masih Terjepit di Reruntuhan dan Debu
Pernikahan Beda Agama Berakhir di PN, Ini Alasan Hukumnya
Campur Sari Pernikahan Beda Agama, Berakhir di PN dalam Setahun