Ujian Sejati Pemimpin: Saat Badai Datang, Mereka Bangkit atau Tumbang?

- Selasa, 09 Desember 2025 | 07:50 WIB
Ujian Sejati Pemimpin: Saat Badai Datang, Mereka Bangkit atau Tumbang?

Stabilitas? Itu bukan ujian sebenarnya. Justru di saat segalanya runtuh diterpa bencana, didera wabah, atau diguncang konflik barulah kualitas seorang pemimpin terlihat nyata. Di momen genting itu, seorang pemimpin akan menunjukkan jati dirinya: apakah ia ikut panik, atau justru bangkit menjadi penuntun.

Musibah, bagi pemimpin yang visioner, tak cuma soal angka kerugian atau jumlah korban. Lebih dalam dari itu, ini soal psikologi massa, rasa aman yang terkikis, dan masa depan bangsa yang tiba-tiba terasa suram. Makanya, mereka tak cuma bertindak sebagai penguasa. Peran mereka bergeser; jadi pengayom, jadi juru bicara yang meyakinkan, sekaligus pengambil keputusan yang kadang harus keras kepala.

Lalu, prinsip apa saja yang dipegang para pemimpin hebat saat menghadapi keadaan darurat? Mari kita lihat, dengan menengok beberapa contoh dari dalam dan luar negeri.

Bertindak Cepat, Meski Belum Sempurna

Dalam krisis, waktu adalah nyawa. Pemimpin kelas atas paham betul hal ini. Mereka memilih bergerak cepat, meski keputusan itu belum seratus persen sempurna. Menunggu kesempurnaan sering berarti mengorbankan lebih banyak lagi.

Jacinda Ardern memberi kita pelajaran berharga. Beberapa jam setelah teror Christchurch 2019, Perdana Menteri Selandia Baru itu sudah berada di tengah keluarga korban. Sikapnya tegas, kata-katanya menenangkan. Kecepatannya itu yang bikin rakyat merasa dilindungi dan percaya pada pemerintahnya.

Komunikasi: Jujur, tapi Jangan Bikin Panik

Di era banjir informasi seperti sekarang, satu rumor bisa jadi bumerang. Pemimpin yang baik tidak main tutup-tutupan. Mereka jujur soal ancaman yang ada, tapi sekaligus punya kemampuan untuk menenangkan dengan bahasa yang manusiawi, bukan sekadar data mentah.

Ingat pidato Angela Merkel di awal pandemi? Ketenangannya luar biasa. Dia tak sungkan menyebut kemungkinan terburuk bahwa 70% penduduk Jerman bisa terinfeksi. Tapi penyampaiannya yang kalem dan berbasis sains justru membuat publik percaya dan mau bekerja sama.

Di dalam negeri, kita juga punya contoh. Saat Covid-19 mulai merebak, Gubernur Anies Baswedan mengambil langkah yang cukup berani. Ia memutuskan pembatasan sosial lebih cepat dari pemerintah pusat. Rutinitas konferensi persnya yang penuh data menjadi sumber informasi yang jelas bagi warga Jakarta. Memang menuai pro-kontra secara politik, tapi dari sudut pandang komunikasi krisis, banyak yang menilai langkahnya efektif.

Turun Langsung, Jangan Cuma Ngomong dari Belakang Meja

Dampak psikologis kehadiran seorang pemimpin di lokasi bencana itu nyata. Itu adalah simbol bahwa negara tidak absen, bahwa rakyatnya tidak ditinggalkan sendirian.

Contoh dari Turki: Gempa dahsyat 2023 lalu. Erdogan, presiden Turki, langsung terjun ke wilayah terdampak. Dia bertemu penyintas, menyaksikan proses evakuasi. Kehadirannya, terlepas dari berbagai kritik yang menyertainya, mempercepat koordinasi bantuan dan setidaknya memberi kesan bahwa negara mengambil alih.

Contoh dari Jakarta: Kembali ke sosok Anies di masa pandemi. Responsnya di awal wabah dinilai banyak kalangan sebagai yang paling tanggap dan transparan di Indonesia kala itu. Sebagai Gubernur DKI, ia mengeluarkan PSBB, membentuk tim khusus penanganan Covid, dan mendorong vaksinasi secara masif. Semua itu dibarengi dengan komunikasi publik yang intens.

Kolaborasi adalah Kunci: Ajak Semua Pihak Bergerak

Pemimpin hebat sadar, mereka tak bisa sendirian. Menggerakkan seluruh elemen masyarakat dari pemerintah, swasta, komunitas, sampai relawan biasa adalah keharusan.

Lee Hsien Loong di Singapura menunjukkan bagaimana kolaborasi itu bekerja. Hadapi SARS dulu, lalu Covid-19, pemerintahnya melibatkan banyak pihak: ilmuwan, rumah sakit, analis data, bahkan perusahaan teknologi. Hasilnya, sistem penanganan jadi terintegrasi dan masyarakat bergerak seirama.


Halaman:

Komentar