Senator Koas: Antara Lorong Istana dan Kamar Pasien, Badan Kehormatan DPD Dihadapkan Dilema Etika

- Minggu, 07 Desember 2025 | 15:50 WIB
Senator Koas: Antara Lorong Istana dan Kamar Pasien, Badan Kehormatan DPD Dihadapkan Dilema Etika

Oleh: Muhibbullah Azfa Manik

Lorong-lorong Istana di Jakarta mungkin jauh dari suasana rumah sakit. Tapi bagi Cerint Iralloza Tasya, dua dunia itu kini harus dijalani bersamaan. Terpilih sebagai senator DPD dari Sumatera Barat untuk periode 2024–2029, namanya justru ramai bukan karena kebijakan, melainkan karena statusnya yang lain: mahasiswa koas. Ya, di tengah tugasnya mewakili daerah di Senayan, ia masih harus menyelesaikan pendidikan profesi kedokterannya. Hal ini memantik pertanyaan besar sekaligus laporan resmi ke Badan Kehormatan DPD.

Laporannya datang dari HMI Sumbar, disampaikan ke BKD DPD pada 5 Desember 2025. Inti aduannya sederhana tapi tajam: dua peran yang masing-masing menuntut dedikasi penuh waktu itu dianggap tidak kompatibel. Bagaimana mungkin seseorang bisa fokus mengawasi anggaran dan membuat undang-undang, sementara di waktu yang sama harus siaga menjalani rotasi di rumah sakit? HMI mengklaim punya bukti, berupa foto dan daftar keaktifan, yang menunjukkan Cerint masih tercatat sebagai mahasiswa koas.

Hingga kini, sang senator memilih diam. Tidak ada klarifikasi resmi.

Lalu, apakah ini melanggar aturan? Secara hukum, pertanyaannya jadi rumit. Aturan memang melarang anggota DPD merangkap jabatan sebagai pejabat negara atau pimpinan organisasi yang dibiayai APBN/APBD. Poin kritisnya: apakah status mahasiswa koas bisa disamakan dengan ‘jabatan’? Undang-Undang Pemilu lebih banyak menyoroti posisi di birokrasi, BUMN, atau lembaga politik. Status akademis seperti ini terlihat berada di area abu-abu. Secara normatif, mungkin tidak dilarang. Tapi di situlah masalahnya.

Karena yang dipertaruhkan sebenarnya bukan sekadar legalitas, melainkan etika dan integritas publik. Menjadi koas bukan sekadar kuliah. Itu adalah tahap akhir pendidikan dokter yang menuntut kesiagaan mental dan fisik hampir 24 jam. Sedangkan tugas senator jelas bukan pekerjaan sambilan. Lantas, mana yang akan dikorbankan? Kualitas pengawasan legislatif atau konsentrasi menangani pasien? Atau justru keduanya?


Halaman:

Komentar