Rektor Asia Tenggara Berdebat: Bisakah Kampus Bertahan Saat AI Gantikan Proses Berpikir?

- Sabtu, 06 Desember 2025 | 18:00 WIB
Rektor Asia Tenggara Berdebat: Bisakah Kampus Bertahan Saat AI Gantikan Proses Berpikir?

Ia mendorong pembangunan infrastruktur superkomputer bersama dan pusat inovasi yang didukung industri. Di UGM, pendekatannya lintas disiplin mengawinkan ilmuwan komputer dengan pakar psikologi, teknik, hingga ilmu sosial. Tujuannya jelas: memastikan AI tidak hanya canggih, tapi juga relevan dan punya pertimbangan sosial.

Lalu, di mana posisi manusia dalam pusaran ini? Profesor Hamdi Muluk dari UI membawa pembicaraan ke ranah yang lebih filosofis. AI, katanya, adalah cermin yang memantulkan kerentanan terdalam manusia.

Dia bercerita tentang kisah pilu anak muda yang mencari sandaran emosional dari sistem AI. Interaksi semacam itu kadang berakhir buruk ketika AI berhalusinasi atau memberi saran yang membahayakan.

Investasi universitas, menurutnya, harus diarahkan untuk membangun ketahanan manusia lewat komunitas kampus, dukungan sebaya, dan program kesehatan mental.

Di sisi lain, dalam panel paralel, para praktisi bisnis bicara lebih blak-blakan. Dalam sesi "Ask Me Anything" mereka, Adi Reza Nugroho (MYCL), David Setiawan Suwarto (Sinemart & MOJI), dan Pang Xue Kai (ForU AI) berbagi pengalaman. Intinya, manfaatkan AI untuk mempercepat kreativitas manusia, bukan menggantikannya.

Jaringan BLOCK71 dari NUS Enterprise, yang kini menjangkau 11 kota termasuk Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta, jadi bukti nyata. Konektivitas antara founder, mentor, dan investor bisa menjadi tulang punggung inovasi di masa penuh ketidakpastian ini.

Forum itu akhirnya ditutup dengan sebuah refleksi. Asia Tenggara, dengan segala kompleksitasnya, tidak mau jadi penonton pasif dalam disrupsi AI. Melalui kolaborasi otentik seperti yang dijalin NUS dengan UI, UGM, dan ITB kawasan ini berusaha keras untuk tak sekadar adaptasi, tapi aktif membentuk masa depan pendidikannya sendiri.

Pertanyaan terakhir kini menggantung. Bisakah para pendidik, peneliti, dan mahasiswa membangun benteng kebijaksanaan manusia di tengah serbuan algoritma yang tak kenal lelah? Jawabannya tak akan ditemukan dalam model AI mana pun. Jawabannya hanya ada di dalam proses berpikir, berdebat, dan berkolaborasi proses yang, seperti diingatkan Profesor Tan, harus tetap menantang.


Halaman:

Komentar