Nah, poin krusialnya di sini. ‘Utsman tetap shalat Jum’at tanpa mandi dulu. Dan ‘Umar meski menegur tidak menyuruhnya keluar untuk mandi lalu kembali. Bagi asy-Syafi’i, sikap kedua sahabat besar ini menunjukkan bahwa mereka memaknai perintah Nabi itu sebagai anjuran, bukan kewajiban yang membatalkan shalat.
Riwayat kedua datang dari Nabi sendiri. Beliau bersabda, “Siapa saja yang berwudhu pada hari Jum’at, maka dia telah mengikuti as-Sunnah… dan orang yang memilih mandi, mandi itu lebih utama.” Ini jelas. Wudhu saja sudah cukup untuk keabsahan shalat Jum’at, meski mandi tentu lebih baik.
Terakhir, ada penuturan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Katanya, dulu para sahabat biasa bekerja keras. Mereka datang ke masjid dalam kondisi apa adanya keringat dan debu masih melekat. Lalu disampaikanlah anjuran, “Seandainya kalian mandi…” Dari sini, tujuan mandi Jum’at lebih terlihat sebagai upaya menjaga kebersihan dan kesopanan, sesuatu yang bersifat anjuran, bukan tuntutan wajib.
Dari uraian panjang ini, kita bisa belajar banyak dari metode Imam asy-Syafi’i. Beliau mengajarkan cara menjama’ atau mengkompromikan hadits-hadits yang sekilas bertentangan. Juga bahwa makna zhahir sebuah teks seperti kata “wajib” bisa bergeser ketika ditemukan qarinah atau indikasi pendukung yang kuat.
Jadi, mandi Jum’at? Sangat dianjurkan, bahkan utama. Tapi kalau cuma sempat wudhu karena keadaan, shalat Jum’atnya tetap sah.
Wallahu a’lam.
(Dirangkum dari Ar-Risalah, Imam asy-Syafi’i, Hlm. 171-173, Dar an-Nafais)
Artikel Terkait
Stok Pangan Aman, Lampung Siap Sambut Natal dan Tahun Baru
Kakek 74 Tahun Ditahan, Mahar Cek Rp 3 Miliar untuk Istri Muda Ternyata Palsu
Kasasi Ditolak, Hukuman Agus Buntung Bertambah Jadi 12 Tahun Penjara
Rob Kembali Genangi Muara Angke, Warga Sudah Anggap Biasa