Di Jalan Isa itu, Warna tak sendirian. Beberapa teman sesama perantau Cirebon sering nongkrong bersama. Awal tahun biasanya membawa angin segar, orderan lumayan ramai. Tapi satu hal: dalam 15 tahun jadi kuli, dia belum pernah sekalipun dapat proyek dari pemerintah.
"Tahun baru mudah-mudahan ada berkah," harapnya, setengah berdoa.
Kerja Layak di Kampung, Mimpi yang Jauh?
Cerita serupa datang dari Aji, 54 tahun. Sudah enam tahun dia mangkal di lokasi yang sama. Nasibnya tak jauh beda: penghasilan sangat tak menentu. Pernah sampai dua pekan dia nganggur total, terpaksa numpang utang ke sana-sini buat bertahan hidup.
"Di sini gampang ada yang nyuruh," alasan Aji bertahan di Jalan Isa. Menurutnya, jalannya ramai dan warganya cukup baik.
Sebagai kuli, dia dibayar Rp 250 sampai 300 ribu untuk proyek harian. Saat sepi, pilihannya cuma satu: pulang kampung ke Cirebon, jadi buruh tani dengan upah yang jauh lebih kecil. Pahit, tapi itulah kenyataan.
Perjuangan Warna, Aji, dan kawan-kawannya di pinggir jalan ibukota ini memang menyimpan cerita yang lebih besar. Ini soal ketidakpastian, tentang keberanian menukar rasa aman dengan penghasulan yang fluktuatif cuma buat menyambung hidup.
Harapan mereka sebenarnya sederhana. Mereka ingin ada kesempatan kerja yang layak di daerah asal. Agar pacul itu bisa dipakai mengolah tanah di kampung halaman, bukan sekadar jadi ornamen bisu di trotoar Jakarta yang tak ramah.
Artikel Terkait
Pasar Anyar Bogor Ludes Dilahap Api, 20 Kios Hangus
DPR Desak Menteri Kehutanan Bertanggung Jawab atas Banjir dan Longsor di Sumatera
Mahasiswa Unila Dihadiahi Tuntutan 16 Tahun, Perdamaian dengan Keluarga Korban Jadi Tumpuan
Banjir Sumatera: Bencana Alam atau Kegagalan Negara?