Matahari baru saja terbit, tapi Warna (70) sudah lama duduk di tepi Jalan Isa, Rawa Belong. Pandangannya kosong, mengikuti gerak kendaraan yang lalu lalang. Tak satu pun berhenti.
Di depannya, sebuah pacul ditancapkan ke tanah. Itu semacam penanda, identitasnya sebagai kuli harian. Pekerja lepas yang siap mengerjakan apa saja, dari urusan bangunan kecil sampai pekerjaan serabutan.
Botol plastik berisi sisa air terakhir dihabiskannya. Tangannya meraba kantong celana, berharap masih ada recehan terselip. Kosong. Sementara panas mulai terasa, keringat pelan-pelan membasahi dahinya.
"Lima hari gak dapat seperak pun," keluhnya, ditemui pada suatu Kamis di awal Desember.
Keluhan itu datang dari seorang yang nekat. Lima belas tahun silam, dengan bekal nyaris nol buta huruf, cuma sempat kelas 1 SD Warna memutuskan merantau dari Cirebon ke Jakarta. Tujuannya sederhana: cari kehidupan yang lebih baik.
"Gak bisa membaca sama sekali," ucapnya polos.
Namun begitu, semangatnya tak pernah benar-benar padam. Di Cirebon, ada cucu-cucunya yang masih sekolah. Mereka menunggu kiriman uang jajan dari sang kakek. Itulah yang membuatnya bertahan. Biarlah dirinya tak sempat merasakan bangku sekolah, asal anak dan cucunya bisa sampai SMP dan SMA.
"Saya paling ngirim buat cucu saya, buat jajan," katanya.
Penghasilannya benar-benar tak bisa ditebak. Bisa Rp 50 ribu sehari, kadang sampai Rp 150 ribu. Tapi kalau sepi orderan, ya terpaksa dia berkeliling nyari sampah. Meminta-minta? Itu pantang baginya. Meski kadang, terpaksa berutang kalau benar-benar kepepet.
Artikel Terkait
Pasar Anyar Bogor Ludes Dilahap Api, 20 Kios Hangus
DPR Desak Menteri Kehutanan Bertanggung Jawab atas Banjir dan Longsor di Sumatera
Mahasiswa Unila Dihadiahi Tuntutan 16 Tahun, Perdamaian dengan Keluarga Korban Jadi Tumpuan
Banjir Sumatera: Bencana Alam atau Kegagalan Negara?