Diksi Kontroversial vs. Substansi Kebijakan
Dua pernyataan kontroversial Nusron Wahid ini menunjukkan sebuah paradoks. Di satu sisi, terdapat niat dan kebijakan substantif untuk menyelesaikan masalah pertanahan. Namun di sisi lain, diksi dan analogi yang digunakannya dinilai banyak kalangan tidak tepat, terkesan arogan, dan justru mengaburkan pesan kebijakan yang ingin disampaikan.
Metafora "kiamat kurang dua hari" ditafsirkan sebagian publik sebagai bentuk pesimisme atau pengakuan ketidakberdayaan negara. Sementara pertanyaan retoris tentang "mbahmu" dinilai menyentuh sensitivitas budaya masyarakat Indonesia yang sangat menghormati leluhur dan sejarah.
Komunikasi Publik bagi Pejabat Negara
Kasus ini menyoroti pentingnya presisi berbahasa dan komunikasi yang efektif bagi pejabat publik. Di era digital di mana setiap pernyataan dapat dengan cepat menjadi viral, pemilihan kata yang empatik dan respek terhadap nilai-nilai masyarakat menjadi sangat krusial.
Kebenaran substansi sebuah kebijakan ternyata tidak cukup jika tidak disampaikan dengan kemasan komunikasi yang tepat. Kepemimpinan di era modern tidak hanya diukur dari kebijakan yang dihasilkan, tetapi juga dari kemampuan menyampaikannya dengan bahasa yang membangun dan mudah dipahami, tanpa menimbulkan kesalahpahaman.
Pelajaran penting dari rangkaian pernyataan kontroversial ini adalah bahwa kekuasaan yang sesungguhnya terletak pada kedewasaan dalam memilih kata-kata, yang dapat mempersatukan dan memberikan pencerahan, bukan yang memecah belah dan merendahkan.
Artikel Terkait
Setelah Serangan Saudi, UEA Tarik Personel Terakhirnya dari Yaman
Ironi Pendidikan Tinggi: Dosen Gugat Negara Demi Upah Layak di Tengah Gengsi Kampus Dunia
BNPT Ungkap 21 Ribu Konten Radikal di Medsos Sepanjang 2025
Serangan Udara di Mukalla, KBRI Muscat Siagakan WNI di Yaman