MURIANETWORK.COM - Dugaan konflik kepentingan yang melibatkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim, kembali menjadi sorotan publik.
Kasus ini mencuat setelah muncul rekaman pembicaraan yang diduga melibatkan eks staf khususnya, Jurist Tan, dengan pihak internal kementerian terkait proyek pengadaan laptop berbasis Chrome OS dari Google.
Tak hanya itu, pengadaan perangkat digital dalam program transformasi pendidikan juga dinilai janggal oleh sejumlah ahli hukum.
Publik bertanya-tanya apakah kerja sama erat antara Kemendikbudristek dan Google selama masa jabatan Nadiem bisa mengarah pada potensi penyimpangan anggaran negara.
Isu ini semakin menguat setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) secara resmi menaikkan status penanganan kasus ini ke tahap penyidikan.
Dorongan agar Kejagung mengusut tuntas potensi benturan kepentingan antara Nadiem dan raksasa teknologi Google juga disampaikan oleh Guru Besar Hukum Pidana dari Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Dr. Hibnu Nugroho.
Ia menilai bahwa kasus pengadaan Chromebook bisa menjadi pintu masuk untuk mengungkap dugaan korupsi yang lebih luas dalam proyek digitalisasi pendidikan.
Menurut Prof. Hibnu, bentuk korupsi tidak selalu harus berupa suap uang tunai.
Ia menekankan bahwa konflik kepentingan, permintaan fee, hingga markup harga juga termasuk kategori tindak pidana korupsi.
Hal ini merujuk pada potensi gratifikasi jika terbukti ada permintaan imbalan tertentu yang berkaitan dengan jabatan.
Pernyataan ini diperkuat oleh informasi adanya rekaman suara yang diduga berasal dari pembicaraan Jurist Tan dengan Inspektur Jenderal Kemendikbudristek, Chatarina Muliana Girsang.
Dalam rekaman itu, Jurist disebut menyatakan bahwa proyek Chromebook harus dimenangkan serta menyebutkan permintaan fee sebesar 30 persen kepada Google.
Sayangnya, hingga kini pihak Itjen Kemendikbudristek belum memberikan pernyataan resmi terkait isi rekaman tersebut.
Kejanggalan dalam proyek ini juga terlihat dari perubahan rekomendasi sistem operasi untuk perangkat pengadaan.
Awalnya, Tim Teknis menyarankan penggunaan Windows berdasarkan kajian kebutuhan di lapangan, namun belakangan rekomendasi tersebut berubah menjadi Chrome OS buatan Google.
Hal ini terjadi meskipun uji coba perangkat Chromebook oleh Pustekkom pada 2018–2019 menunjukkan sejumlah kendala, terutama terkait kebutuhan jaringan internet yang stabil.
Kondisi tersebut dinilai tidak sesuai dengan realitas infrastruktur internet di banyak wilayah Indonesia, khususnya di daerah terpencil.
Pada 2020, Nadiem Makarim mengalokasikan dana lebih dari Rp687 miliar untuk pengadaan laptop dan LCD di 3.876 sekolah.
Angka ini jauh melampaui anggaran renovasi sekolah yang hanya berkisar Rp170 miliar pada tahun yang sama.
Kebijakan ini diperkuat dengan terbitnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 5 Tahun 2021 yang mewajibkan penggunaan sistem operasi Chrome OS dalam pengadaan perangkat TIK melalui Dana Alokasi Khusus (DAK).
Dokumen internal menunjukkan bahwa alokasi untuk pengadaan Chromebook mencapai Rp433,4 miliar untuk jenjang SD dan Rp271,4 miliar untuk SMP.
Enam produsen lokal, seperti Advan, Axioo, dan Zyrex, turut dilibatkan dalam perakitan laptop tersebut yang bekerja sama langsung dengan inisiatif Google for Education.
Tak hanya dalam perangkat keras, kerja sama dengan Google juga merambah ke pengembangan sistem cloud untuk basis data guru serta platform belajar daring seperti Belajar.id.
Platform ini mencakup berbagai aplikasi pendidikan, termasuk Google Workspace for Education dan Chromebook, yang semuanya berbasis layanan Google.
Pada 22 Mei 2023, pihak Google melalui Country Lead Google for Education Indonesia, Olivia Basrin, menyampaikan bahwa kerja sama dengan Kemendikbudristek telah terjalin sejak 2019 untuk mendukung transformasi pendidikan nasional.
Namun, semakin eratnya hubungan ini kini menjadi bahan evaluasi, terutama ketika dikaitkan dengan potensi gratifikasi dan pengaruh korporasi terhadap arah kebijakan negara.
Sementara itu, Kejagung telah meningkatkan status perkara pengadaan Chromebook ke tahap penyidikan sejak 20 Mei 2025.
Penyidik menemukan indikasi adanya permufakatan jahat dalam proses perubahan kajian teknis yang seolah diarahkan agar Chromebook menjadi satu-satunya pilihan.
Total anggaran program digitalisasi pendidikan dalam kurun 2019–2022 mencapai hampir Rp10 triliun.
Dari jumlah tersebut, sekitar Rp3,58 triliun berasal dari anggaran Kemendikbudristek, dan sisanya sebesar Rp6,39 triliun ditopang oleh Dana Alokasi Khusus (DAK).
Langkah hukum yang diambil Kejagung sejauh ini termasuk penggeledahan rumah dan apartemen sejumlah mantan staf khusus Mendikbudristek, seperti Fiona Handayani, Jurist Tan, dan Ibrahim Arief.
Dari operasi tersebut, penyidik menyita berbagai barang bukti, mulai dari perangkat elektronik hingga dokumen penting yang kini tengah dianalisis.
Ketiga mantan staf tersebut sempat dijadwalkan menjalani pemeriksaan awal Juni 2025, namun tidak hadir tanpa keterangan.
Akibatnya, Kejagung mengeluarkan surat pencegahan ke luar negeri kepada Ditjen Imigrasi untuk mencegah ketiganya meninggalkan Indonesia selama proses hukum berlangsung.
Kasus ini membuka babak baru dalam pengawasan publik terhadap kebijakan digitalisasi pendidikan.
Selain potensi kerugian negara, muncul pertanyaan mendalam tentang transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan teknologi di sektor pendidikan.
Apakah program digitalisasi yang seharusnya membawa manfaat justru dimanfaatkan untuk kepentingan segelintir pihak?
Pertanyaan ini kini berada di tangan penegak hukum, sementara masyarakat menanti kejelasan dan keadilan dalam proses penyidikan.
Sumber: HukamaNews
Artikel Terkait
Pengasuh Ponpes Perk*sa Belasan Santri, Sebagian Korban Terpaksa Aborsi, Pelaku Dibekuk di Situbondo
KPK Panggil Stafsus Menaker Ida Fauziyah dan Hanif Dhakiri
KPK Periksa Mantan Pejabat Pajak Muhammad Haniv sebagai Tersangka Gratifikasi
Ada Dugaan Gratifikasi, KPK Bakal Sambangi Kementerian PU